Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia |
Pancasila memuat berbagai nilai luhur seperti
saling menghormati, saling menghargai, membantu, bekerjasama, dan lain
sebagainya. Nilai-nilai luhur tersebut selama ini telah terangkum di dalam
Pancasila mulai dari sila pertama sampai sila ke-lima. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan menjadi karakter bangsa Indonesia pada hakikatnya
merupakan nilai-nilai dasar yang digali dari budaya-budaya lokal yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke. Nila-nilai budaya Sasak dalam konteks ini hadir memberikan
kontribusi bagi terbentuknya ketahanan bangsa Indonesia. Hal ini berarti,
ketika nilai-nilai budaya lokal menghadapai berbagai permasalahan, maka itu
juga berarti masalah bagi keberlangsungan karakter bangsa Indonesia.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Jika ditinjau dari esensi dan keberadaan
karakter bangsa Indonesia, dapat dikatakan bahwa antara Pancasila sebagai
karakter bangsa dengan nilai-nilai budaya Sasak memiliki hubungan yang sangat
erat. Hal ini ditandai dengan banyak
kemiripan dan kesamaan nilai-nila yang terkandung dalam Pancasila dengan
nilai-nilai budaya Sasak. Pancasila yang terdiri dari lima sila jika dihubungkan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sasak terdapat dalam satu nilai
inti yang disebut oleh masyarakat sasak dengan istilah tindih. Nilai budaya tindih
dapat dijelaskan sebagai sebuah tata kelakuan yang menjaga manusia Sasak untuk
berperilaku baik, serasi, dan seimbang. Perwujudan dari nilai ini dapat
terlihat dalam kehidupan masyarakat Sasak, sebagaimana yang diceritakan oleh
salah seorang budayawan, Moch. Yamin (wawancara tanggal 10 Juli 2011). Ia
mengatakan bahwa
Yang
masih sangat kuat di ingatan saya, ketika dulu ibu saya mengambil beras untuk
ditanak dia selalu melakukan ritual tertentu dengan merapikan baju terlebih
dahulu kemudian membungkukkan badannya sambil berdoa. Suatu saat saya bertanya
“Kenapa Ibu terlalu banyak ritual seperti itu?” lalu ibu saya menjawab “Ketika
kita akan melakukan sesuatu, kita perlu punya adab, perlu minta izin, dan perlu
berdoa agar apa yang kita lakukan diberkahi oleh Alloh termasuk dalam hal ini
agar beras yang kita masak mendapat keberkahan dari Alloh”.
Dari wawancara di atas, dapat dijelaskan
bahwa nilai tindih ini mengharuskan
masyarakat Sasak dapat menghargai setiap potensi yang mereka miliki, menghargai
dan mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Tuhan, menjaga keserasian dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban, menjaga hubungan antar sesama, hubungan
dengan lingkungannya, dan utamanya menjaga hubungan baik antara manusia Sasak
dengan sang penciptanya. Dengan adanya konsep berpikir seperti di atas,
masyarakat Sasak juga dituntut mampu menghargai setiap rezeki yang mereka
dapatkan sebagai anugerah yang harus disyukuri. Dalam konteks ini, ada praktik
luhur yang dilestarikan oleh masyarakat Sasak seperti adanya pandangan tabu
terhadap orang-orang atau anggota keluarga yang mengabaikan atau membiasakan
diri bebewet (bebewet dalam hal ini diartiakan sebagai orang yang suka menyisakan
makanan sehingga tidak bermanfaat). Karena itu berarti bahwa mereka tidak
mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Alloh. Ini pula yang menyebabkan
dalam setiap kegiatan masyarakat Sasak selalu menggunakan ritual-ritual
sederhana sebagai bentuk sikap meminta izin dan rasa syukur mereka. Dalam
kehidupan sehari-hari, tindih juga dapat
terlihat dalam bentuk sikap dan laku pribadi yang serba menghormati dan
memuliakan kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Sikap, tutur kata, dan tingkah
laku dalam setiap situasi dan kondisi harus sesuai dan sepantasnya, bahkan
dalam berkhayal sekalipun. Nilai ini kemudian ditopang dengan beberapa nilai
kualitatif penopang nilai dasar (tindih,
maliq, mêrang) seperti siru yang
teraplikasi dalam bentuk besiru. Siru dalam konsepnya menekankan manusia Sasak
untuk selalu merasa sebagai manusia yang saling berkaitan dan ketergantungan
dengan yang lainnya. Nilai ini dalam implementasinya dapat diwujudkan dalam
sikap dan perilaku yang saling membantu antar sesama. Ketika ada salah satu di antara
keluarga, tetangga atau orang lainnya yang mengalami kesulitan biaya pendidikan
misalnya, maka seharusnya manusia Sasak harus tergerak hatinya untuk dapat
saling membantu, tidak hanya sebatas simpati, tetapi juga harus berempati.
Nilai siru yang terbentuk dari rumah besar tindih, yang dibentengi oleh nilai maliq dan merang tersebut
juga dijadikan sebagai perekat antar individu dalam komunitas masyarakat Sasak.
Masayarakat Sasak dituntut dapat menerima setiap perbedaan sebagai sebuah
rahmat yang mengandung potensi atau kekuatan untuk membangun komunitas mereka.
Saling menghargai dan dapat menerima setiap perbedaan antar sesama maupun dengan komunitas
masyarakat yang lebih luas menjadi sebuah keharusan manusia Sasak. Dengan
demikian, nilai tindih sebagai inti
nilai-nilai budaya Sasak memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila sebagai dasar yang menjiwai karakter bangsa Indonesia.
Nilai tindih yang menekankan pada perlunya
membangun moral dan etika yang baik dalam kehidupan beragama misalnya sangat
erat kaitannya dengan sila pertama dalam Pancasila. Demikian pula dengan saling
menjaga hak antar sesama manusia (sila ke-2), kehidupan dalam masyarakat yang
terdiri dari berbagai latar sosial dan budaya (sila ke-3), bersedia untuk
saling membantu tanpa memandang harta dan latar belakang (sila ke-4), hingga
akhirnya dapat mewujudkan sebuah keadilan di dalam bermasyarakat (sila ke-5). Karena
konsep pluralisme pun sebenarnya juga menginginkan hal tersebut, yakni mengakui
adanya perbedaan, memberi ruang untuk mengembangkan dirinya, kemudian
bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Kemudian terdapat dua nilai kualitatif
yang membantu pengaplikasian tindih
tersebut. Yaitu maliq dan mêrang, yang dapat diibaratkan dengan tindih sebagai titik yang berada di
tengah, kemudian di kelilingi oleh maliq,
dan lingkaran selanjutnya adalah mêrang
dan diikuti oleh nilai-nilai kualitatif lainnya.
Maliq
Tindih
Merang
Maliq,
dapat disimpulkan sebagai norma dalam masyarakat
Sasak yang memberi batas jelas bagi masyarakatnya tentang mana yang boleh dan
tidak boleh mereka lakukan. Sehingga kemungkinan untuk melakukan sebuah
penyimpangan akan sangat kecil, sebab telah ada nilai maliq yang memberi gambaran jelas tentang hal itu. Kaitannya dengan
nilai Pancasila, maka maliq mencerminkan
perwujudan sila ke dua yang mencita-citakan tercapainya sebuah persamaan bagi
setiap orang tanpa harus dibeda-bedakan, dan juga sila ke lima yang mencita-citakan
keadilan bagi setiap orang dalam segala bidang kehidupannya. Sebab manusia
Sasak tidak akan berbuat suatu hal yang dianggap salah, yakni termasuk merampas
hak orang lain, mengganggu kenyamanan orang lain, menyebabkan orang lain
menderita, dan lain sebagainya. Sehingga tidak akan ada kasus seperti korupsi
yang merupakan pelanggaran atas hak milik orang lain, pencurian, dan juga
penindasan.
Kemudian mêrang merupakan rasa malu apabila diri sendiri ataupun keluarga
dan sesamanya tidak dapat menjaga, melindungi, membela dan mempertahankan
integritas serta kehormatannya. Yang dimaksud di sini seperti malu apabila
salah seorang anggota keluraganya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sedangkan ia hidup dengan serba kecukupan. Malu apabila kesenangan dan
kebahagiaan hidup hanya dinikmati sendiri, sedangkan masih ada orang lain yang
mengalami nasib yang tidak seberuntung dirinya. Nilai mêrang ini, mencerminkan sila ke empat yang menginginkan agar
masyarakat senantiasa rela bergotong-royong dan saling membantu demi meringankan
beban orang lain. Dengan konsep ini akan tercipta sebuah kesejahteraan yang
merata di dalam msyarakat. Mêrang
senantiasa menanamkan kepada diri setiap individu bahwa jika ia berkesempatan
untuk hidup bahagia, maka orang lain juga berhak untuk mendapatkannya. Maka
rasa tolong menolong akan terus tergerak dalam setiap diri individu untuk
menolong sesama yang ada di sekitarnya. Nilai inipun dibantu oleh nilai siru, yang selalu mengingatkan manusia
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari orang lain dan
selalu terkait satu sama lain. Sehingga kadang kala membutuhkan pertolongan,
dan kemudian memberikan pertolongan. Pada akhirnya rasa saling terkait dan malu
apabila kebahagiaan hanya dirasakan sendiri, secara tidak langsung dan dengan
sendirinya akan menggerakkan setiap individu untuk saling menolong dalam
menghadapi berbagai cobaan dan permasalahan dalam hidup.
0 komentar:
Post a Comment