Thursday, 8 January 2015

Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia


Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia -


Pancasila memuat berbagai nilai luhur seperti saling menghormati, saling menghargai, membantu, bekerjasama, dan lain sebagainya. Nilai-nilai luhur tersebut selama ini telah terangkum di dalam Pancasila mulai dari sila pertama sampai sila ke-lima. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan menjadi karakter bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan nilai-nilai dasar yang digali dari  budaya-budaya lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Nila-nilai budaya Sasak dalam konteks ini hadir memberikan kontribusi bagi terbentuknya ketahanan bangsa Indonesia. Hal ini berarti, ketika nilai-nilai budaya lokal menghadapai berbagai permasalahan, maka itu juga berarti masalah bagi keberlangsungan karakter bangsa Indonesia.
BACA JUGA  : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak 

BACA JUGA  : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
  
BACA JUGA  : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia

BACA JUGA  : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '

BACA JUGA  : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi

BACA JUGA  : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok 

 Jika ditinjau dari esensi dan keberadaan karakter bangsa Indonesia, dapat dikatakan bahwa antara Pancasila sebagai karakter bangsa dengan nilai-nilai budaya Sasak memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini ditandai dengan  banyak kemiripan dan kesamaan nilai-nila yang terkandung dalam Pancasila dengan nilai-nilai budaya Sasak. Pancasila yang terdiri dari lima sila jika dihubungkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sasak terdapat dalam satu nilai inti yang disebut oleh masyarakat sasak dengan istilah tindih. Nilai budaya tindih dapat dijelaskan sebagai sebuah tata kelakuan yang menjaga manusia Sasak untuk berperilaku baik, serasi, dan seimbang. Perwujudan dari nilai ini dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Sasak, sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang budayawan, Moch. Yamin (wawancara tanggal 10 Juli 2011). Ia mengatakan bahwa
Yang masih sangat kuat di ingatan saya, ketika dulu ibu saya mengambil beras untuk ditanak dia selalu melakukan ritual tertentu dengan merapikan baju terlebih dahulu kemudian membungkukkan badannya sambil berdoa. Suatu saat saya bertanya “Kenapa Ibu terlalu banyak ritual seperti itu?” lalu ibu saya menjawab “Ketika kita akan melakukan sesuatu, kita perlu punya adab, perlu minta izin, dan perlu berdoa agar apa yang kita lakukan diberkahi oleh Alloh termasuk dalam hal ini agar beras yang kita masak mendapat keberkahan dari Alloh”.

Dari wawancara di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai tindih ini mengharuskan masyarakat Sasak dapat menghargai setiap potensi yang mereka miliki, menghargai dan mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Tuhan, menjaga keserasian dan keseimbangan antara hak dan kewajiban, menjaga hubungan antar sesama, hubungan dengan lingkungannya, dan utamanya menjaga hubungan baik antara manusia Sasak dengan sang penciptanya. Dengan adanya konsep berpikir seperti di atas, masyarakat Sasak juga dituntut mampu menghargai setiap rezeki yang mereka dapatkan sebagai anugerah yang harus disyukuri. Dalam konteks ini, ada praktik luhur yang dilestarikan oleh masyarakat Sasak seperti adanya pandangan tabu terhadap orang-orang atau anggota keluarga yang mengabaikan atau membiasakan diri bebewet (bebewet dalam hal ini diartiakan sebagai orang yang suka menyisakan makanan sehingga tidak bermanfaat). Karena itu berarti bahwa mereka tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Alloh. Ini pula yang menyebabkan dalam setiap kegiatan masyarakat Sasak selalu menggunakan ritual-ritual sederhana sebagai bentuk sikap meminta izin dan rasa syukur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, tindih juga dapat terlihat dalam bentuk sikap dan laku pribadi yang serba menghormati dan memuliakan kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Sikap, tutur kata, dan tingkah laku dalam setiap situasi dan kondisi harus sesuai dan sepantasnya, bahkan dalam berkhayal sekalipun. Nilai ini  kemudian ditopang dengan beberapa nilai kualitatif penopang nilai dasar (tindih, maliq, mêrang) seperti siru yang teraplikasi dalam bentuk besiru. Siru dalam konsepnya menekankan manusia Sasak untuk selalu merasa sebagai manusia yang saling berkaitan dan ketergantungan dengan yang lainnya. Nilai ini dalam implementasinya dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang saling membantu antar sesama. Ketika ada salah satu di antara keluarga, tetangga atau orang lainnya yang mengalami kesulitan biaya pendidikan misalnya, maka seharusnya manusia Sasak harus tergerak hatinya untuk dapat saling membantu, tidak hanya sebatas simpati, tetapi juga harus berempati.
Nilai siru yang terbentuk dari rumah besar tindih, yang dibentengi oleh nilai maliq dan merang tersebut juga dijadikan sebagai perekat antar individu dalam komunitas masyarakat Sasak. Masayarakat Sasak dituntut dapat menerima setiap perbedaan sebagai sebuah rahmat yang mengandung potensi atau kekuatan untuk membangun komunitas mereka. Saling menghargai dan dapat menerima setiap perbedaan  antar sesama maupun dengan komunitas masyarakat yang lebih luas menjadi sebuah keharusan manusia Sasak. Dengan demikian, nilai tindih sebagai inti nilai-nilai budaya Sasak memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar yang menjiwai karakter bangsa Indonesia. Nilai tindih yang menekankan pada perlunya membangun moral dan etika yang baik dalam kehidupan beragama misalnya sangat erat kaitannya dengan sila pertama dalam Pancasila. Demikian pula dengan saling menjaga hak antar sesama manusia (sila ke-2), kehidupan dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai latar sosial dan budaya (sila ke-3), bersedia untuk saling membantu tanpa memandang harta dan latar belakang (sila ke-4), hingga akhirnya dapat mewujudkan sebuah keadilan di dalam bermasyarakat (sila ke-5). Karena konsep pluralisme pun sebenarnya juga menginginkan hal tersebut, yakni mengakui adanya perbedaan, memberi ruang untuk mengembangkan dirinya, kemudian bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Kemudian terdapat dua nilai kualitatif yang membantu pengaplikasian tindih tersebut. Yaitu maliq dan mêrang, yang dapat diibaratkan dengan tindih sebagai titik yang berada di tengah, kemudian di kelilingi oleh maliq, dan lingkaran selanjutnya adalah mêrang dan diikuti oleh nilai-nilai kualitatif lainnya.




                                       Maliq
                                       Tindih

                                  
                                              Merang                                                    

Maliq, dapat disimpulkan sebagai norma dalam masyarakat Sasak yang memberi batas jelas bagi masyarakatnya tentang mana yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Sehingga kemungkinan untuk melakukan sebuah penyimpangan akan sangat kecil, sebab telah ada nilai maliq yang memberi gambaran jelas tentang hal itu. Kaitannya dengan nilai Pancasila, maka maliq mencerminkan perwujudan sila ke dua yang mencita-citakan tercapainya sebuah persamaan bagi setiap orang tanpa harus dibeda-bedakan, dan juga sila ke lima yang mencita-citakan keadilan bagi setiap orang dalam segala bidang kehidupannya. Sebab manusia Sasak tidak akan berbuat suatu hal yang dianggap salah, yakni termasuk merampas hak orang lain, mengganggu kenyamanan orang lain, menyebabkan orang lain menderita, dan lain sebagainya. Sehingga tidak akan ada kasus seperti korupsi yang merupakan pelanggaran atas hak milik orang lain, pencurian, dan juga penindasan.
Kemudian mêrang merupakan rasa malu apabila diri sendiri ataupun keluarga dan sesamanya tidak dapat menjaga, melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta kehormatannya. Yang dimaksud di sini seperti malu apabila salah seorang anggota keluraganya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sedangkan ia hidup dengan serba kecukupan. Malu apabila kesenangan dan kebahagiaan hidup hanya dinikmati sendiri, sedangkan masih ada orang lain yang mengalami nasib yang tidak seberuntung dirinya. Nilai mêrang ini, mencerminkan sila ke empat yang menginginkan agar masyarakat senantiasa rela bergotong-royong dan saling membantu demi meringankan beban orang lain. Dengan konsep ini akan tercipta sebuah kesejahteraan yang merata di dalam msyarakat. Mêrang senantiasa menanamkan kepada diri setiap individu bahwa jika ia berkesempatan untuk hidup bahagia, maka orang lain juga berhak untuk mendapatkannya. Maka rasa tolong menolong akan terus tergerak dalam setiap diri individu untuk menolong sesama yang ada di sekitarnya. Nilai inipun dibantu oleh nilai siru, yang selalu mengingatkan manusia bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari orang lain dan selalu terkait satu sama lain. Sehingga kadang kala membutuhkan pertolongan, dan kemudian memberikan pertolongan. Pada akhirnya rasa saling terkait dan malu apabila kebahagiaan hanya dirasakan sendiri, secara tidak langsung dan dengan sendirinya akan menggerakkan setiap individu untuk saling menolong dalam menghadapi berbagai cobaan dan permasalahan dalam hidup.

0 komentar:

Post a Comment