Thursday, 8 January 2015

Nilai-Nilai Budaya Sasak


Nilai-Nilai Budaya Sasak
Nilai-Nilai Budaya Sasak - Menyadari sebagai komunitas yang memiliki keragaman budaya (multikultural), manusia Sasak kemudian memprioritaskan etika dan moralitas sebagai semangat dan landasan bagi mekanisme pranata sosial mereka.

BACA JUGA  : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak 

BACA JUGA  : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
  
BACA JUGA  : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia

BACA JUGA  : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '

BACA JUGA  : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi

BACA JUGA  : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok 

 Hal itu juga bertujuan memelihara solidaritas kolektif dan menjaga keutuhan komunitas mereka. Berikut petikan dari Lontar Te Melak Mangan, bait 252, yang menggambarkan hal tersebut.


Sai-sai ungkoning sasak,
girang maca babat gumi,
mau’ rahmat si’ Pangeran,
pahala mara’ ngujungi,
le’ bilang makam mandi,
dening bakluhuran slapu’,
ita pada ngepeyang,
ade’ tetawo’ tandan gumi...................

“Siapa saja yang menempati Tanah Sasak,
rajin-rajinlah membaca sejarahnya,
agar mendapat rahmat dari Yang Kuasa,
pahala yang berlimpah,
di setiap makam mandi,
karena kita semua berleluhur yang sama,
kita semua adalah pemiliknya,
agar kita tahu lekuk-liku tanah pusaka.........”

Keinginan ini kemudian melahirkan nilai dasar dalam budaya Sasak, yang diberi simbol yaitu tindih, maliq, dan mȇrang.

Tindih dapat diartikan sebagai kekuasaan etika dan kekuatan moral yang ditanamkan pada diri setiap pribadi manusia Sasak untuk menjaganya dari kemungkinan berperilaku kurang pantas dan mengganggu hak-hak sesama, yang akan menyebabkan goyahnya keserasian dan keseimbangan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, tindih dapat kita lihat dalam bentuk sikap dan tingkah laku pribadi yang serba menghormati dan memuliakan kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Sikap, tutur-kata, dan tingkah laku dalam setiap situasi dan kondisi harus sesuai dan sepantasnya, bahkan dalam berkhayal sekalipun.  Dalam setiap tutur kata dan perilaku akan terekam dan menjadi dokumen serta referensi setiap orang dalam komunitas itu untuk hari-hari selanjutnya. Nilai tindih ini kemudian diimplementasikan menjadi dasar dalam pembuatan hukum dalam tradisi Sasak (awik-awik), yang mengatur tata-cara manusia berhubungan dengan sesamanya dan dengan alamnya, beserta beban sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam proses pelaksanaannya. Oleh karena itu, setiap orang harus atau wajib untuk selalu berusaha menjadi teladan bagi sesama dan lingkungan sosialnya, sehingga terwujudnya masyarakat yang rukun, harmonis, dan terlepas dari segala problem kehidupan.
Seseorang yang mampu bersikap tindih, dianggap telah mencapai sebuah kesempurnaan hidup. Sebab tindih dianggap sebagai nilai utama, atau pencapaian dari sebuah kehidupan. Apabila setiap orang mampu bersikap tindih, maka tentu saja keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan sosial akan tercapai. Setiap orang akan selalu menjaga segala ucapan, tingkah laku, dan pikirannya dari hal yang kurang baik dan senantiasa memberi contoh pada lingkungannya. Sehingga kemungkinan akan terjadinya gejolak menjadi sangat minim, karena setiap orang telah berucap, bertingkah laku, dan berpikiran yang baik.
Maliq, mengandung makna batas antara yang boleh dengan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia Sasak dalam kehidupannya sehari-hari. Baik kepada sesama, ciptaan Tuhan, dan kepada sang pencipta sendiri. Nilai ini dapat pula dikatakan sebagai norma yang berlaku dalam masyarakat Sasak, yang senantiasa menuntun dan mengarahkan masyarakatnya untuk selalu berjalan di jalan yang benar. Nilai ini memberikan penjelasan kepada masyarakat Sasak tentang apa yang harus dilakukan yang berkaitan dengan tindih itu sendiri, yaitu demi mencapai suatu keserasian dan keseimbangan melalui etika dan moral.

Mêrang (wirang = malu) merupakan simbol nilai yang bermakna mekanisme pertahanan diri yang mewajibkan setiap pribadi dan komunitas menjaga, melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta kehormatannya. Dalam hal ini kehormatan yang dimaksud tidak hanya kehormatan pada diri sendiri saja, melainkan juga kehormatan keluarga, kelompok, suku, dan bangsanya. Dalam kebangsaan nilai ini dapat dikatakan sebagai rasa nasionalisme, yaitu rasa senasib dan sepenanggungan. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini sering terlihat pada acara perkawinan dan kematian suku Sasak. Apabila terdapat seorang tetangga yang putra atau putrinya menikah, maka tetangga yang lain akan berbondong-bondong untuk datang membantu sambil membawa berbagai barang. Seperti beras, gula, kain, kambing, dan lain sebagainya. Begitupula halnya pada saat kematian, sehingga tak ada anggota masyarakat yang merasakan beban apabila mendapat musibah atau menikmati sendiri rezeki yang didapat.
Dengan adanya nilai mêrang ini, maka dapat dikatakan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Karena akan ada orang lain yang senantiasa menemani dan membantu di kala seseorang sedang membutuhkan bantuan.
Selain ketiga nilai inti tersebut, dalam budaya Sasak juga terdapat nilai kualitatif yang berfungsi sebagai penopang atau pembantu ketiga nilai inti tersebut, seperti siru, reme, sangkep dan lain-lain. Sehingga nilai-nilai tersebut dapat lebih mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, nilai kualitatif ini berperan sebagai sarana atau jalan menuju tiga nilai dasar tersebut. Dalam budaya Sasak banyak terdapat nilai kualitatif yang jarang dikenal oleh masyarakat Sasak, namun sudah sering diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kualitatif ini antara lain:
Siru, merupakan wujud kesadaran manusia Sasak yang meyakini bahwa tidak satu pun makhluk di jagad ini yang keberadaannya tidak terkait dan terpaut dengan makhluk lainnya dan kesaling-tergantungan antar sesama makhluk hidup merupakan prinsip dasar dari eksistensinya. Besiru adalah bentuk instan dari siru, yang dalam kehidupan sehari-hari manusia Sasak terwujud sebagai sikap dan tingkah laku saling tolong, saling memberi, saling menjaga, saling mendidik, dan seterusnya. Contoh penerapan nilai ini yaitu saling membantu ketika membangun rumah atau menggarap sawah, sehingga tidak perlu meminta bantuan ke sana ke mari.
Siru ini sangat erat kaitannya dengan mêrang, sebab orang yang mêrang pasti akan selalu berangkat dari siru. Jika seseorang telah terbiasa melaksanakan siru di dalam kehidupannya, maka akan secara otomatis nilai mêrang dapat dengan mudah melekat pada dirinya.
Isi kandungan tindih, maliq, dan mȇrang kemudian tertuang dalam semua klausal adat Sasak, dan berdasarkan obyeknya dikelompokkan menjadi:
1.      Adat Urip, adalah adat yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia Sasak.
2.      Adat Pati, adalah adat yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kematian, baik prosesi maupun segala bentuk ritual yang menyertainya.
3.      Adat Puruse, adalah adat yang mengatur hubungan manusia Sasak dengan alamnya.

Konsep-konsep norma yang terdapat pada golongan tersebut kemudian teraplikasi melalui subsistem adat:
1.      Adat Game, mengatur pola hubungan manusia Sasak dengan Tuhannya.
2.      Adat Krame, mengatur prosesi dan ritual yang berhubungan dengan daur hidup.
3.      Adat Tapsila, mengatur pola dan mekanisme hubungan antar sesama manusia.
4.      Adat Puruse, mengatur hubungan manusia Sasak dengan lingkungan alamnya.

0 komentar:

Post a Comment