Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak |
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak - Berdasarkan hasil kajian dan wawancara terhadap beberapa nara sumber terkait dengan berbagai pola perkawinan bangsawan sasak, dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang muncul ternyata tidak hanya antara kalangan bangsawan dengan masyarakat biasa, tetapi juga antar kalangan bangsawan itu sendiri.. Secara hirarkis dapat disebutkan bahwa golongan yang tertinggi sampai terendah dapat diuraikan sebagai berikut : :
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Pola Adat Perkawinan Bangsawan Sasak - Berdasarkan hasil kajian dan wawancara terhadap beberapa nara sumber terkait dengan berbagai pola perkawinan bangsawan sasak, dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang muncul ternyata tidak hanya antara kalangan bangsawan dengan masyarakat biasa, tetapi juga antar kalangan bangsawan itu sendiri.. Secara hirarkis dapat disebutkan bahwa golongan yang tertinggi sampai terendah dapat diuraikan sebagai berikut : :
a.
Golongan I untuk gelar Raden dan Dende.
Raden
adalah gelar anak laki-laki yang belum menikah, dan Dende adalah gelar anak perempuan yang belum menikah.
b.
Golongan II untuk gelar Lalu dan Baiq. Lalu adalah sebutan untuk anak laki-laki
yang belum menikah, dan bagi yang sudah menikah maka akan bergelar Mamiq. Baiq/Lale adalah sebutan untuk anak perempuan yang masih gadis, dan
untuk yang sudah menikah akan bergelar Mamiq
Lale.
c.
Golongan III yaitu Berpare.
Berpare lahir dari perkawinan yang tidak
disepakati pada perkawinan upacara adat.Ketiga golongan di atas disebut Triwangse.
d.
Golongan IV yaitu Jajar
karang / Luput.Jajar atau Luput
adalah golongan untuk masyarakat biasa
atau rakyat.
Berdasarkan
tingkatan itu pula, maka terbentuk pola pola tertentu ketika terjadi perkawinan
antara tingkatan yang satu dengan tingkatan yang lainnya. Berdasarkan hasil
wawancara yang telah dilakukan, terdapat sekurang-kurangnya delapan pola yang
terbentuk ( M. Yamin dan Ahmad). Secara singkat dapat dipaparkan pola
perkawinan bangsawan Sasak sebagai berikut :
a. Jika seorang Raden dan Dende menikah,
maka keturunannya akan bergelar Raden
untuk anak lakilaki dan Dende untuk anak perempuan
b. Jika seorang Raden dan Baiq menikah,
maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki-laki dan Baiq
untuk sebutan bagi anak perempuan
c. Jika Raden
dan Jajar Karang menikah, maka keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak aki-laki dan Baiq untuk anak perempuan
d.
Jika Dende
dan Luput/Jajar Karang menikah, maka
keturunannya akan bergelar atau berkedudukan Jajar Karang baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
e.
Jika seorang Lalu
dan Baiq menikah maka keturunannya
akan bergelar Lalu untuk anak laki laki dan Baiq
untuk anak perempuan
f.
Jika seorang Lalu
dan Jajar karang menikah maka
keturunannya akan bergelar Lalu untuk anak laki-laki dan Baiq
untuk anak perempuan.
g.
Jika seorang Dende
dan Lalu menikah maka keturunannya
akan bergelar Lalu untuk anak laki laki
dan Baiq untuk anak perempuan
h.
Jika Jajar Karang
dan Baiq menikah maka keturunannya
akan bergelar Jajar Karang.
Berikut ini digambarkan kombinasi pola perkawinan bangsawan Sasak dalam
bentuk table sebagai berikut :
NO
|
POLA
PERKAWINAN BANGSAWAN SASAK
|
KETERANGAN
|
|||
KOMBINASI
PERKAWINAN
|
HASIL PERKAWINAN
|
||||
Lk
|
Pr
|
Lk
|
Pr
|
||
1
2
3
4
5
6
7
8
|
Raden
Raden
Raden
Lalu
Lalu
Lalu
Lalu
Jajar
Karang
|
Dende
Baiq
Jajar
karang
Dende
Jajar
Karang
Baiq
Baiq
Dende,
Baiq
|
Raden
Lalu
Lalu
Lalu
Lalu
Lalu
Lalu
Jajar
karang
|
Dende
Baiq
Baiq
Baiq
Baiq
Baiq
Baiq
Jajar
karang
|
Tetap
Turun/sangsi ringan
Turun/ sangsi ringan
Tetap untuk Lk, Turun untuk Pr.
Tetap
Untuk Lk, naik untuk Pr.
Tetap
Tetap
Turun,
Mendapat sangsi berat (Beteteh / dibuang )
|
Berdasarkan pola-pola tersebut di
atas, dapat dijelaskan bahwa jika golongan Raden
bertemu / kawin dengan dende, maka
keturunannya tetap menjadi Raden dan Dende. Posisi kebangsawanannya tetap, disebabkan
karena keduanya memiliki kesetaraan sehingga keturunannya tidak berubah atau
tidak mendapat hukuman adat .Pola seperti ini nampaknya selalu sama untuk semua
tingkatan mulai dari tingkatan yang paling tinggi sampai pada tingkatan yang
paling rendah
Selanjutnya, jika terjadi ketidaksetaraan
antara pihak laki-laki dan perempuan, maka yang menjadi patokan adalah
keturunan dari pihak laki-laki. Dalam persoalan seperti ini banyak pola yang
dapat dijelaskan, seperti jika Raden kawin dengan Baiq
atau Lale, Raden kawin dengan Jajar Karang, Dende kawin dengan Lalu, Dende kawin dengan Jajar Karang, Lalu kawin
dengan Dende, dan Lalu
kawin dengan Jajar Karang
Dalam hal inilah berlaku sistem patralinial,
dimana pihak laki-laki adalah pihak yang menetukan. Laki-laki dianggap sebagai
pihak yang memilliki hak yang lebih besar untuk meneruskan keturunan mereka,
sehingga posisi perempuan seolah-olah selalu berada dibawah laki-laki. Dengan
sistem ini, hak laki-laki menjadi lebih besar dibandingkan dengan hak
perempuan.Oleh karena itu ketika perempuan dari kalangan bangsawan seperti Dende, Baiq atau Lale kawin
dengan orang yang kedudukannya lebih rendah; seperti kawin dengan kalangan Jajar Karang, maka posisi kebangsawanan
perempuan dan keturunannya menjadi hilang dan dianggap sebagai orang yang
melakukan pelangggaran berat terhadap
adat. Sebagai hukuman terhadap perempuan yang melakukan pelanggaran
terhadap adat, maka diberlakukanlah hukum beteteh
( Pembuangan ). Lain halnya jika bangsawan dari pihak laki-laki seperti Raden ataupun Lalu
kawin dengan orang yang bukan dari kalangan bangsawan ( Jajar Karang ), maka kebangswanannya tetap melekat pada pihak laki-laki
termasuk juga keturunannya.
Meskipun demikian, dalam beberapa hal, pola
patralinial yang berlaku pada
masyarakat Sasak ini ternyata tidak konsisten, M. Yamin. (Wawancara tanggal 20
juni 2010 ). Pada pola kedua misalnya, ketika Raden kawin dengan Lale
atau Baiq, ternyata keturunannya
bukan Raden atau Dende melainkan muncul Lalu,
Baiq atau Lale. Pada pola ini jelas kelihatan bahwa garis penentu keturunan
adalah pihak perempuan. Dapat juga dikatakan bahwa pada pola ini garis
keturunan berikutnya menjadi menurun satu tingkat, dan inilah yang masuk dalam kategori hukuman ringan dan dalam
istilah sasaknya disebut Tesenger.
Dalam hal hukuman yang diterapkan bagi
pelanggar adat, seperti yang telah disebutkan di atas, biasanya ada dua jenis
hukuman yaitu hukuman berat yang disebut
dengan beteteh dan hukuman ringan
yang disebut tesenger. Pelaksanaan beteteh atau tesenger ini sebagaimana diungkapkan oleh Lalu Thamrin mengatakan bahwa :
Ada dua bentuk hukuman yang biasanya dilakukan
jika terkena pelanggaran adat atau citre, yaitu hukuman berat berupa beteteh dan hukuman ringan atau tesenger…yang paling berat itu adalah beteteh tejual mateq, artinya pihak
perempuan tersebut di samping kebangsawanannya hilang, juga hubungan
silaturrahmi dengan keluarga putus dunia akhirat, meskipun demikian ada juga
kadang yang masih diperbolehkan pulang, tetapi statusnya sebagai inan pawon. Anda tahu kan arti inan pawon? ia tidak lebih seperti orang luar yang tidak
punya hak ikut campur dalam masalah keluarga, bahkan sama kedudukannya dengan
pembantu. Tidak ada hak bersuara atau ikut dalam pengambilan keputusan.
dalam keluarga tersebut. Proses perkawinan tersebut juga tidak diacarkan,
kecuali acara beteteh itu sendiri. (
Wawancara, 25 Juni 2010 )
Dari
pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa hukuman berat yang berupa beteteh tejual mateq adalah hukuman pemutusan
hubungan silaturrahmi dunia akhirat antara anak perempuan dengan keluarganya;
yang menurut kesepakatan adat telah melanggar adat atau citre yang disepakati dalam komunitas adat tersebut. Dengan adanya
pemutusan hubungan silaturrahmi, otomatis hak-hak yang dulunya melekat sebagai
anak akan hilang. Kalaupun dia diberikan
kesempatan untuk pulang, maka kepulangannya hanya sebatas layaknya orang luar yang berkunjung, bahkan statusnya tidak lebih sebagai pembantu di rumahnya
sendiri.
Dalam beberapa
kasus, aturan yang diberlakukan bagi yang terkena hukuman beteteh ini malah lebih berat. Melalui prosesi beteteh tersebut, mereka tidak diperkenankan lagi untuk pulang menjenguk
kedua orang tuanya meskipun dengan alasan apapun. Banyak fakta yang menunjukkan
bahwa perempuan bangsawan Sasak yang terkena hukuman beteteh tidak dapat bertemu dengan kedua orang tuanya sampai ajal
menjemputnya.
0 komentar:
Post a Comment