Penerapan Budaya Sasak |
Penerapan Budaya Sasak - Melihat realitas kekinian karakter dalam
masyarakat Sasak, tercermin bahwa adanya nilai dalam budaya Sasak yang memiliki
keterkaitan yang kuat dengan nilai Pancasila nampaknya tidak membawa pengaruh besar
terhadap karakter masyarakat Sasak pada saat ini. Oleh sebab itu, pendidikan
karakter terhadap masyarakat Sasak melalui nilai-nilai dalam budayanya dirasa
sangat baik untuk dilakukan. Karena sangat sayang apabila nilai tersebut, yang
telah turun temurun diwarisi oleh nenek moyang suku Sasak diabaikan begitu
saja.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Pendidikan akan karakter melalui nilai
budaya Sasak ini juga memang sangat penting, sesuai dengan yang telah diuraikan
pada nilai dalam budaya Sasak. Sebab dengan terlestarinya nilai tersebut akan
menjaga masyarakat Sasak dari ancaman perpecahan akibat adanya sebuah
multikultural di dalam tubuh masyarakat Sasak.
Penerapan
nilai budaya Sasak ini dapat dilakukan melalui kegiatan ataupun pembiasaan
hidup yang berbasis pada nilai-nilai budaya Sasak. Pembiasaan-pembiasaan ini
perlu dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua
unsur dalam masyarakat Sasak. Disamping itu, revitalisasi dan
penyesuaian-penyesuaian juga tetap diperlukan. Dengan demikian diharapkan masyarakat Sasak, khususnya generasi mudanya
tidak tercabut dari akar budayanya. Mereka tidak terasing dengan masyarakat dan
budaya masyarakatnya, sekaligus juga diharapkan mereka juga tidak terasing
dengan perkembangan masyarakat dunia.
Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mensosialisasikan dan membumikan nilai-nilai
budaya Sasak agar tidak terasing dalam masyarakat pendukungnya adalah :
a. Banjar
Dalam
terminologi masyarakat Sasak, banjar diartikan sebagai persekutuan komunitas
terkecil yang eksistensinya berada pada setiap gubug atau kampung (Yamin,
2008), yang mana di dalam banjar itu secara spontan berlangsung kegiatan sosial
kemasyarakatan warga satu kampung tersebut. Usia banjar biasanya sama dengan
usia kampung itu sendiri. Anggota banjar adalah semua kepala keluarga dalam
satu kampung yang biasanya memiliki ikatan darah kekerabatan, namun seiring
perkembangan zaman banyak juga anggota banjar yang berasal dari luar kampung
karena proses perkawinan. Masyarakat Sasak mengenal dua jenis banjar, yakni
banjar mate untuk kematian dan banjar
merariq untuk perkawinan. Di dalam
banjar telah terpatri salah satu nilai kualitatif, yakni semangat besiru yang
menjadi spirit utama aktivitas banjar. Semangat besiru bersifat spontan,
kolektif dan berdasarkan reme, yaitu
sikap membantu atau menolong sesama dengan sukarela, senang hati dan ikhlas.
Tetapi ini tidak cukup efektif menggerakkan perubahan, karena hanya muncul
spontan pada saat tertentu saja yaitu kematian dan perkamiwan.
Oleh
sebab itu, perlu diadakan perubahan dalam hal kegiatan yang dilakukan oleh
banjar. Selain pada saat kematian dan perkawinan, banjar ini dapat digunakan
sebagai sarana pembelajaran nilai kearifan lokal bagi masyarakat Sasak
khususnya kaum pemuda dan pemudi. Karena banjar sebenarnya berperan pula
memproduksi seperangkat kearifan lokal yang dalam bahasa Sasak disebut awik-awik, tetapi nilai kearifan lokal
yang inti seperti tindih, maliq, mêrang
memang sangat jarang diajarkan secara jelas dan kontinu.
b. Sêsênggak
Istilah sêsênggak
dimaknai sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku dalam
masyarakat (Sasak); bersifat turun-temurun dalam masyarakatnya; memiliki fungsi
secara umum sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata
dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat
“pemaksa” dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi.
Sesenggak
Sasak mengandung nilai-nilai
keadaban atau kearifan lokal yang secara tidak langsung
dapat membantu dalam membangun karakter bangsa. Contoh sub tema dalam sesenggak Sasak
seperti:
1)
Kepatuhan
terhadap Ajaran Agama
a) Ndaq te ngaken barak api.
‘Janganlah kita
makan bara api’
b) Pacu-pacu ntan te punik akherat.
‘Rajin-rajinlah beramal untuk akhirat’
2)
Memilih
Suri Teladan yang Baik
c) Embe lain yaq ntun aiq ngelek,
pasti ojoq direq.
‘Mau kemana air mengalir, kalau
bukan ke hilir’
d)
Embe lain jarum, to lain benang.
‘Ke
mana arah jarum, kesanalah arah benang’
3)
Mengelola
Keuangan
e) Beleqan ponjon isiq sendor.
‘Lebih besar bakul nasi daripada
gentong tempat beras’
f) Sorok dampuk, bosang boros.
‘Sorok memperoleh hasil banyak,
namun wadah penyimpanan bocor’
4)
Mejaga
Lisan (Perkataan)
g) Elaq peleng belong.
‘Lidah memotong leher (sendiri)’
h) Sampi betali isiq pepit,
manusie betali isiq raos.
‘Sampi diikat oleh tali, manusia
diikat oleh perkataan’
5)
Memelihara
Tradisi
i) Maraq manuk bekesene.
‘Seperti
ayam di depan cermin’
Sêsênggak sebagai warisan tradisi orang tua Sasak terdahulu selain
memiliki nilai sastra yang tinggi, tetapi juga mengandung nilai-nilai keadaban
atau kearifan lokal. Berbagai nilai kearifan lokal dalam sêsênggak
merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Sasak dahulu. Meskipun sêsênggak
adalah kearifan lokal pada etnik tertentu yakni Sasak, namun setelah
diterjemahkan ke bahasa lain ternyata masih bernilai. Sehingga sêsênggak
ini memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai penyumbang dalam membentuk
karakter bangsa dengan banyak nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, dengan lebih memperkenalkan dan aktif menagajarkan serta menerapkan
kandungan dalam sêsênggak ini kepada masyarakat Sasak, pemebentukan
karakter melalui nilai budaya Sasak pun akan menjadi lebih mudah.
c. Pendidikan
di Sekolah
Sekolah
adalah sebuah media paling umum untuk mengajarkan berbagai macam pendidikan.
Namun pada sekolah sekarang ini jarang sekali ditemukan materi pendidikan yang
mengajarkan tentang pendidikan karakter. Di sekolah memang dikenalkan pelajaran
mengenai kewargenegaraan. Tetapi itu hanya sebatas pengenalan terhadap negara
dan kebangsaan, tidak mencakup pendidikan akan pentingnya karakter bagi sebuah
bangsa. Oleh sebab itu, sekolah adalah sarana paling empuk untuk mengajarkan
tentang karakter tersebut kepada anak didik. Karena sebagian besar masyarakat
dunia dan hampir seluruhnya mewajibkan diri untuk bersekolah.
Pendidikan
karakter dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran kewarganegaraan, atau
dipisahkan sendiri menjadi sebuah mata pelajaran khusus seperti muatan lokal.
Tetapi, apabila pendidikan karakter ingin dilakukan melalui pengajaran akan
nilai budaya Sasak, maka pengajaran nilai budaya Sasak di Lombok dapat
dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal yang khusus mengajarkan tentang
nilai tersebut. Dengan demikian, maka secara tidak langsung juga akan mendidik
anak didik tentang sebuah karakter dan pengembangan karakter yang baik. Selain
itu, untuk lebih dapat merealisasikannya dapat dilakukan berbagai kegiatan demi
menunjang teraplikasinya pengajaran tersebut. Seperti menyelenggarakan festival
kreativitas, menyelenggarakan kegiatan peduli lingkungan, meningkatkan
kebersihan dan keasrian sekolah, renungan kebajikan pada akhir minggu, pesta
olahraga dan apresiasi terhadap karakter pemain, program peduli sesama,
mengadakan lomba menulis dengan tema karakter, dan lain sebagainya.
d. Pengenalan
Ngayat/Nyaer Sejak Dini
Di dalam masyarakat Sasak terdapat
tradisi lisan yang biasa digunakan sebagai sarana pewarisan nilai dan konsepsi,
salah satunya tradisi lisan tersebut yaitu ngayat/nyaer.
Ngayat/nyaer adalah pembacaan hikayat
dengan lagu (dalam istilah Sasak kayat), yang mana lagu (kayat) itu
dalam penyampaiannya mirip dengan lagu hikayat yang berkembang di daerah
asalnya Riau, Malaysia, Kalimantan (Sapiin, 2001). Dalam ngayat/nyaer ada yang bertindak sebagai
pembaca naskah asli yang berbahasa Melayu lama dengan cara melagukan, dan
kemudian ada yang bertindak sebagai pernerjemah ke dalam bahasa Sasak lengkap
dengan tafsir yang biasa di sebut bujangge. Seorang bujangge selain
bertindak sebagai penerjemah harus mampu memberikan penafsiran terhadap
teks agar para pendengarnya memahami maksud yang terkandung didalamnya.
Karena itu, seorang bujangge harus menguasai bahasa Sasak, bahasa Melayu
lama, Arab,dan juga ajaran-ajaran Islam secara mendalam serta memahami adat dan
budaya Sasak. Bahasa Sasak yang digunakan oleh para bujangge adalah
bahasa Sasak yang umum digunakan oleh masyarakat biasa dan bukan bahasa
Sasak halus yang biasa dipakai oleh para bangsawan (menak) Sasak, hal
ini mengingat para pendengarnya kebanyakan masyarakat yang hidup dalam tradisi
kelisanan. Ngayat/nyaer dalam masyarakat Sasak
merupakan kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan sistem budaya masyarakat,
terutama dalam pelaksanaan upacara adat dan keagamaan. Sebab banyak sekali nilai-nilai
moral yang terkandung didalamnya, dan nilai tersebut masih relevan dengan
kehidupan masyarakat, karena itu nilai yang ditawarkan membantu proses
peawarisan nilai luhur dari generasi ke generasi.
Pada saat sekarang, tradisi lisan ngayat/nyaer sebagai kreativitas budaya
masyarakat Sasak walau masih eksis keberadaannya namun kurang mendapat
perhatian dari masyarakat secara luas, mengingat para pelaku dan penikmatnya
adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah. Akibat arus globalisasi dalam
berbagai bidang menyebabkan keberadaannya tergantikan oleh media lain, di
samping adanya pertentangan antarkelompok puritan dan sinkritis dalam
masyarakat akan keberadaan bakayat. Padahal ngayat/nyaer
sebagai hasil kreativitas merupakan pembentuk identitas yang harus terus
diapresiasi, digali, dikembangkan, dan disosialisasikan. Mengingat kandungan
nilai yang terdapat didalamnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang
multikultural, dan akan terus dapat memelihara sistem sosial yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Agar bakayat dapat terus berkembang dalam masyarakatnya
yang menuju era globalisasi, dan karena ngayat/nyaer
ini juga berpotensi mensosialisasikan nilai-nilai budaya Sasak dan nilai luhur
yang dapat membantu proses pembentukan karakter yang baik dalam msyarakat, maka
perlu adanya upaya yang lebih atraktif dalam menyajikan ngayat/nyaer sebagai produk budaya. Yaitu dengan menghadirkan
teks (hikayat/syair) baru kepada anak-anak untuk memberi ruang padanya dalam
rangka mewariskan tradisi tersebut tanpa menghilangkan esensinya. Kita dapat
menciptakan cerita yang punya nilai edukatif bagi anak-anak dan menyelipkan
nilai-nilai kearifan lokal Sasak, mungkin ini keluar dari pakem ngayat/nyaer namun esensi ngayat/nyaer dalam penyajian dan sebagai
sumber informasi, pengetahuan, penyebaran nilai-nilai moral, agama masih tetap
dapat dipertahankan. Selain itu kita dapat
memformat ulang dan menyesuaikan isi ngayat/nyaer
sesuai dengan perkembangan zaman. Dan untuk dapat lebih dikenal dalam semua
kalangan, ngayat/nyaer dapat
disosialisasikan melalui media pengajaran di sekolah. Yaitu dengan mengajarkan
para peserta didik cara membaca dan menafsirkan ngayat/nyaer.
e.
Peningkatan Peran Tokoh Masyarakat
Peran tokoh masyarakat pada sebuah
kampung dapat dikatakan lebih berperan dan disegani oleh anggota masyarakat.
Karena biasanya, pemerintah daerah jarang sekali yang dapat langsung berbaur
dengan warganya sampai ke pelosok-pelsosok desa. Sedangkan tokoh masyarakat
seperti tokoh agama dan kepala dusun hampir ada di setiap kampung, dan tak
jarang sangat disegani karena baik tutur kata dan tingkah laku yang mereka
tunjukkan selalu memberi contoh yang baik kepada masyarakat.
Oleh karena itu, demi mewujudkan
keberhasilan pendidikan karakter melalui nilai-nilai kearifan lokal Sasak, maka
peran dari tokoh masyarakat seperti tokoh agama dan kepala dusun baik untuk
lebih ditingkatkan. Yakni dapat berawal dari hal yang paling sederhana, yaitu
pemeberian contoh yang baik kepada masyarakat melalui tutur kata dan tingkah
laku tokoh masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal Sasak. Sebab,
manusia akan lebih mudah belajar dari sesuatu yang dapat mereka lihat dengan
jelas atau nyata praktiknya. Kemudian, kepala dusun dapat lebih mengelola awik-awik desa yang memuat begitu banyak
nilai kearifan lokal Sasak. Sedangkan tokoh agama dapat mengajarkan berbagai
nilai budaya Sasak melalui pengajian-pengajian atau pengajaran agama yang
mereka lakukan. Karena pada dasarnya agama dan budaya pasti memiliki tujuan
yang sama, yaitu terciptanya kebaikan, kerukunan, dan kesejahteraan bagi
ummatnya.
0 komentar:
Post a Comment