Pages

Pages - Menu

Thursday, 8 January 2015

Penerapan Budaya Sasak


Penerapan Budaya Sasak
Penerapan Budaya Sasak - Melihat realitas kekinian karakter dalam masyarakat Sasak, tercermin bahwa adanya nilai dalam budaya Sasak yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan nilai Pancasila nampaknya tidak membawa pengaruh besar terhadap karakter masyarakat Sasak pada saat ini. Oleh sebab itu, pendidikan karakter terhadap masyarakat Sasak melalui nilai-nilai dalam budayanya dirasa sangat baik untuk dilakukan. Karena sangat sayang apabila nilai tersebut, yang telah turun temurun diwarisi oleh nenek moyang suku Sasak diabaikan begitu saja.
  
BACA JUGA  : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak 

BACA JUGA  : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
  
BACA JUGA  : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia

BACA JUGA  : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '

BACA JUGA  : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi

BACA JUGA  : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok 

Pendidikan akan karakter melalui nilai budaya Sasak ini juga memang sangat penting, sesuai dengan yang telah diuraikan pada nilai dalam budaya Sasak. Sebab dengan terlestarinya nilai tersebut akan menjaga masyarakat Sasak dari ancaman perpecahan akibat adanya sebuah multikultural di dalam tubuh masyarakat Sasak.
Penerapan nilai budaya Sasak ini dapat dilakukan melalui kegiatan ataupun pembiasaan hidup yang berbasis pada nilai-nilai budaya Sasak. Pembiasaan-pembiasaan ini perlu dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua unsur dalam masyarakat Sasak. Disamping itu, revitalisasi dan penyesuaian-penyesuaian juga tetap diperlukan. Dengan demikian diharapkan  masyarakat Sasak, khususnya generasi mudanya tidak tercabut dari akar budayanya. Mereka tidak terasing dengan masyarakat dan budaya masyarakatnya, sekaligus juga diharapkan mereka juga tidak terasing dengan perkembangan masyarakat dunia.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mensosialisasikan dan membumikan nilai-nilai budaya Sasak agar tidak terasing dalam masyarakat pendukungnya adalah :
a.    Banjar
Dalam terminologi masyarakat Sasak, banjar diartikan sebagai persekutuan komunitas terkecil yang eksistensinya berada pada setiap gubug atau kampung (Yamin, 2008), yang mana di dalam banjar itu secara spontan berlangsung kegiatan sosial kemasyarakatan warga satu kampung tersebut. Usia banjar biasanya sama dengan usia kampung itu sendiri. Anggota banjar adalah semua kepala keluarga dalam satu kampung yang biasanya memiliki ikatan darah kekerabatan, namun seiring perkembangan zaman banyak juga anggota banjar yang berasal dari luar kampung karena proses perkawinan. Masyarakat Sasak mengenal dua jenis banjar, yakni banjar mate untuk kematian dan banjar merariq untuk perkawinan. Di dalam banjar telah terpatri salah satu nilai kualitatif, yakni semangat besiru yang menjadi spirit utama aktivitas banjar. Semangat besiru bersifat spontan, kolektif dan berdasarkan reme, yaitu sikap membantu atau menolong sesama dengan sukarela, senang hati dan ikhlas. Tetapi ini tidak cukup efektif menggerakkan perubahan, karena hanya muncul spontan pada saat tertentu saja yaitu kematian dan perkamiwan.
Oleh sebab itu, perlu diadakan perubahan dalam hal kegiatan yang dilakukan oleh banjar. Selain pada saat kematian dan perkawinan, banjar ini dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran nilai kearifan lokal bagi masyarakat Sasak khususnya kaum pemuda dan pemudi. Karena banjar sebenarnya berperan pula memproduksi seperangkat kearifan lokal yang dalam bahasa Sasak disebut awik-awik, tetapi nilai kearifan lokal yang inti seperti tindih, maliq, mêrang memang sangat jarang diajarkan secara jelas dan kontinu.

b.    Sêsênggak
Istilah sêsênggak dimaknai sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku dalam masyarakat (Sasak); bersifat turun-temurun dalam masyarakatnya; memiliki fungsi secara umum sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat “pemaksa” dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi. Sesenggak Sasak mengandung nilai-nilai keadaban atau kearifan lokal yang secara tidak langsung dapat membantu dalam membangun karakter bangsa. Contoh sub tema dalam sesenggak Sasak seperti:
1)   Kepatuhan terhadap Ajaran Agama
a) Ndaq te ngaken barak api.
 ‘Janganlah kita makan bara api’

b) Pacu-pacu ntan te punik akherat.
‘Rajin-rajinlah beramal untuk akhirat’

2)   Memilih Suri Teladan yang Baik
c) Embe lain yaq ntun aiq ngelek, pasti ojoq direq.
‘Mau kemana air mengalir, kalau bukan ke hilir’

d) Embe lain jarum, to lain benang.
‘Ke mana arah jarum, kesanalah arah benang’

3)   Mengelola Keuangan
e) Beleqan ponjon isiq sendor.
‘Lebih besar bakul nasi daripada gentong tempat beras’

f) Sorok dampuk, bosang boros.
‘Sorok memperoleh hasil banyak, namun wadah penyimpanan bocor’

4)   Mejaga Lisan (Perkataan)
g) Elaq peleng belong.
‘Lidah memotong leher (sendiri)’

h) Sampi betali isiq pepit, manusie betali isiq raos.
‘Sampi diikat oleh tali, manusia diikat oleh perkataan’

5)   Memelihara Tradisi
i) Maraq manuk bekesene.
 Seperti ayam di depan cermin’

Sêsênggak sebagai warisan tradisi orang tua Sasak terdahulu selain memiliki nilai sastra yang tinggi, tetapi juga mengandung nilai-nilai keadaban atau kearifan lokal. Berbagai nilai kearifan lokal dalam sêsênggak merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Sasak dahulu. Meskipun sêsênggak adalah kearifan lokal pada etnik tertentu yakni Sasak, namun setelah diterjemahkan ke bahasa lain ternyata masih bernilai. Sehingga sêsênggak ini memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai penyumbang dalam membentuk karakter bangsa dengan banyak nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, dengan lebih memperkenalkan dan aktif menagajarkan serta menerapkan kandungan dalam sêsênggak ini kepada masyarakat Sasak, pemebentukan karakter melalui nilai budaya Sasak pun akan menjadi lebih mudah.
c.    Pendidikan di Sekolah
Sekolah adalah sebuah media paling umum untuk mengajarkan berbagai macam pendidikan. Namun pada sekolah sekarang ini jarang sekali ditemukan materi pendidikan yang mengajarkan tentang pendidikan karakter. Di sekolah memang dikenalkan pelajaran mengenai kewargenegaraan. Tetapi itu hanya sebatas pengenalan terhadap negara dan kebangsaan, tidak mencakup pendidikan akan pentingnya karakter bagi sebuah bangsa. Oleh sebab itu, sekolah adalah sarana paling empuk untuk mengajarkan tentang karakter tersebut kepada anak didik. Karena sebagian besar masyarakat dunia dan hampir seluruhnya mewajibkan diri untuk bersekolah.
Pendidikan karakter dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran kewarganegaraan, atau dipisahkan sendiri menjadi sebuah mata pelajaran khusus seperti muatan lokal. Tetapi, apabila pendidikan karakter ingin dilakukan melalui pengajaran akan nilai budaya Sasak, maka pengajaran nilai budaya Sasak di Lombok dapat dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal yang khusus mengajarkan tentang nilai tersebut. Dengan demikian, maka secara tidak langsung juga akan mendidik anak didik tentang sebuah karakter dan pengembangan karakter yang baik. Selain itu, untuk lebih dapat merealisasikannya dapat dilakukan berbagai kegiatan demi menunjang teraplikasinya pengajaran tersebut. Seperti menyelenggarakan festival kreativitas, menyelenggarakan kegiatan peduli lingkungan, meningkatkan kebersihan dan keasrian sekolah, renungan kebajikan pada akhir minggu, pesta olahraga dan apresiasi terhadap karakter pemain, program peduli sesama, mengadakan lomba menulis dengan tema karakter, dan lain sebagainya.

d.   Pengenalan Ngayat/Nyaer Sejak Dini
Di dalam masyarakat Sasak terdapat tradisi lisan yang biasa digunakan sebagai sarana pewarisan nilai dan konsepsi, salah satunya tradisi lisan tersebut yaitu ngayat/nyaer. Ngayat/nyaer adalah pembacaan hikayat dengan lagu (dalam istilah Sasak kayat), yang mana lagu (kayat) itu dalam penyampaiannya mirip dengan lagu hikayat yang berkembang di daerah asalnya Riau, Malaysia, Kalimantan (Sapiin, 2001).  Dalam ngayat/nyaer ada yang bertindak sebagai pembaca naskah asli yang berbahasa Melayu lama dengan cara melagukan, dan kemudian ada yang bertindak sebagai pernerjemah ke dalam bahasa Sasak lengkap dengan tafsir yang biasa di sebut bujangge. Seorang bujangge selain bertindak  sebagai penerjemah harus mampu memberikan penafsiran terhadap teks  agar para pendengarnya memahami maksud yang terkandung didalamnya. Karena itu, seorang bujangge harus menguasai bahasa Sasak, bahasa Melayu lama, Arab,dan juga ajaran-ajaran Islam secara mendalam serta memahami adat dan budaya Sasak. Bahasa Sasak yang digunakan oleh para bujangge adalah bahasa Sasak yang umum digunakan  oleh masyarakat biasa dan bukan bahasa Sasak halus yang biasa dipakai oleh para bangsawan (menak) Sasak, hal ini mengingat para pendengarnya kebanyakan masyarakat yang hidup dalam tradisi kelisanan.  Ngayat/nyaer  dalam masyarakat Sasak merupakan kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan sistem budaya masyarakat, terutama dalam pelaksanaan upacara adat dan keagamaan. Sebab banyak sekali nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya, dan nilai tersebut masih relevan dengan kehidupan masyarakat, karena itu nilai yang ditawarkan membantu proses peawarisan nilai luhur dari generasi ke generasi.
Pada saat sekarang, tradisi lisan ngayat/nyaer sebagai kreativitas budaya masyarakat Sasak walau masih eksis keberadaannya namun kurang mendapat perhatian dari masyarakat secara luas, mengingat para pelaku dan penikmatnya adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah. Akibat arus globalisasi dalam berbagai bidang menyebabkan keberadaannya tergantikan oleh media lain, di samping adanya pertentangan antarkelompok puritan dan sinkritis dalam masyarakat akan keberadaan bakayat. Padahal ngayat/nyaer sebagai hasil kreativitas merupakan pembentuk identitas yang harus terus diapresiasi, digali, dikembangkan, dan disosialisasikan. Mengingat kandungan nilai yang terdapat didalamnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang multikultural, dan akan  terus  dapat memelihara sistem sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
            Agar bakayat dapat terus berkembang dalam masyarakatnya yang menuju era globalisasi, dan karena ngayat/nyaer ini juga berpotensi mensosialisasikan nilai-nilai budaya Sasak dan nilai luhur yang dapat membantu proses pembentukan karakter yang baik dalam msyarakat, maka perlu adanya upaya yang lebih atraktif dalam menyajikan ngayat/nyaer sebagai   produk budaya. Yaitu dengan menghadirkan teks (hikayat/syair) baru kepada anak-anak untuk memberi ruang padanya dalam rangka mewariskan tradisi tersebut tanpa menghilangkan esensinya. Kita dapat menciptakan cerita yang punya nilai edukatif bagi anak-anak dan menyelipkan nilai-nilai kearifan lokal Sasak, mungkin ini keluar dari pakem ngayat/nyaer namun esensi ngayat/nyaer dalam penyajian dan sebagai sumber informasi, pengetahuan, penyebaran nilai-nilai moral, agama masih tetap dapat dipertahankan. Selain itu kita dapat  memformat ulang dan menyesuaikan isi ngayat/nyaer sesuai dengan perkembangan zaman. Dan untuk dapat lebih dikenal dalam semua kalangan, ngayat/nyaer dapat disosialisasikan melalui media pengajaran di sekolah. Yaitu dengan mengajarkan para peserta didik cara membaca dan menafsirkan ngayat/nyaer.
e.    Peningkatan Peran Tokoh Masyarakat
Peran tokoh masyarakat pada sebuah kampung dapat dikatakan lebih berperan dan disegani oleh anggota masyarakat. Karena biasanya, pemerintah daerah jarang sekali yang dapat langsung berbaur dengan warganya sampai ke pelosok-pelsosok desa. Sedangkan tokoh masyarakat seperti tokoh agama dan kepala dusun hampir ada di setiap kampung, dan tak jarang sangat disegani karena baik tutur kata dan tingkah laku yang mereka tunjukkan selalu memberi contoh yang baik kepada masyarakat.
Oleh karena itu, demi mewujudkan keberhasilan pendidikan karakter melalui nilai-nilai kearifan lokal Sasak, maka peran dari tokoh masyarakat seperti tokoh agama dan kepala dusun baik untuk lebih ditingkatkan. Yakni dapat berawal dari hal yang paling sederhana, yaitu pemeberian contoh yang baik kepada masyarakat melalui tutur kata dan tingkah laku tokoh masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal Sasak. Sebab, manusia akan lebih mudah belajar dari sesuatu yang dapat mereka lihat dengan jelas atau nyata praktiknya. Kemudian, kepala dusun dapat lebih mengelola awik-awik desa yang memuat begitu banyak nilai kearifan lokal Sasak. Sedangkan tokoh agama dapat mengajarkan berbagai nilai budaya Sasak melalui pengajian-pengajian atau pengajaran agama yang mereka lakukan. Karena pada dasarnya agama dan budaya pasti memiliki tujuan yang sama, yaitu terciptanya kebaikan, kerukunan, dan kesejahteraan bagi ummatnya.

No comments:

Post a Comment