Pages

Pages - Menu

Thursday 8 January 2015

Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang


Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang -

Berdasarkan uraian mengenai nilai budaya Sasak serta hubungannya dengan nilai Pancasila, maka dapat dikatakan bahwa nilai yang terkandung dalam budaya Sasak memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat erat dengan nilai-nilai karakter bangsa, khususnya nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Nilai-nilai budaya Sasak tersebut mestinya dapat memberikan kontribusi bagi penguatan karakter bangsa Indonesia. Jika saja berbagai kearifan lokal seperti nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sasak tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakatnya, maka dapat dipastikan bahwa nilai-nilai karakter bangsa sebagi pilar utama dalam membangun bangsa ini akan tetap lestari dan bertahan ditengah tantangan era globalisasi. Namun realita kehidupan masyarakat Sasak kini nampaknya seolah-olah kurang menunujukkan adanya identitas budaya yang mampu membimbingnya. 

BACA JUGA  : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak 

BACA JUGA  : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
  
BACA JUGA  : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia

BACA JUGA  : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '

BACA JUGA  : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi

BACA JUGA  : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok 

Berbagai fakta sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur budaya Sasak sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh berbagai perilaku yang kurang simpatik dari masyarakat pendukungnya.
                        Masih kuat dalam ingatan kita sebuah peristiwa yang terkenal dengan peristiwa 17 Januari. Peristiwa tersebut begitu mengejutkan masyarakat Indonesia, bahkan dunia pada umumnya dan masyarakat Sasak khususnya. Bagaimana tidak, masyarakat yang sebelumnya dianggap masyarakat yang sangat toleran tiba-tiba bertindak maupun berprilaku sangat tidak toleran. Berawal dari sebuah tablig akbar tanggal 17 Januari 2000 di Mataram, tiba-tiba berujung pada tindakan kekerasan dan pengerusakan terhadap berbagai tempat ibadah. Peristiwa ini berawal dari  pelemparan gereja GPIB, pembakaran gereja, pastoran, dan aula Paroki Mataram serta pengerusakan dan pembakaran terhadap tempat ibadah lainnya. Barbagai tindakan anarkis lainnya pun terjadi diberbagai tempat. Masyarakat nampaknya juga begitu cepat tersulut emosinya, hingga identitas kerukunan dan kedamaian antar ummat beragama yang sudah beratus-ratus tahun tertanam pada masyarakat sasak harus lenyap dalam hitungan jam.
Nilai tindih dalam konteks kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan dan kesatuan seolah-olah terlupakan begitu saja. Pada tahun 2009 salah satu bupati di Lombok, didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi dalam kasus tukar guling aset Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat berupa tanah dan bangunan. Menurut jaksa, terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp. 1,64 milyar (http://vivanews.com). Pada tahun 2011 dan tahun-tahun sebelumnya juga banyak terjadi kasus perampokan di Lombok. Tanggal 29 Mei 2011, sebuah motor dicuri ketika pemiliknya sedang terlelap tidur, begitu pula sebuah rumah yang sedang ditinggal pergi oleh pemiliknya pada 1 Juli 2011 habis dijarah oleh pencuri (Lombok Post). Kasus-kasus ini juga membuktikan terjadinya pelanggaran dalam sila ke dua dan ke lima, dan juga membuktikan lemahnya nilai maliq di masyarakat Sasak. Pejabat seenaknya menikmati hak milik orang lain, begitupula para pencuri yang merampas milik orang lain dan melakukan tindakan yang jelas-jelas dianggap tidak baik.
     Kemudian provinsi NTB mencatat, 360.518 orang anak dari usia 7-18 tahun putus sekolah, dan 179.950 orang buta aksara (http://lomboknews.com). Hal ini sungguh sangat memprihatinkan, dan lagi-lagi memberitahukan kepada kita bahwa cita-cita sila ke empat dan nilai mêrang pada masyarakat Sasak tidak terpatri kuat. Hingga kini, kesadaran masyarakat Sasak untuk tolong-menolong hanya terbatas ketika adanya acara perkawinan dan kematian saja. Sedangkan pada aspek-aspek yang lain seperti pendidikan yang membawa pengaruh besar bagi masa depannya justru diabaikan. Bahkan, ada kepercayaan dalam masyarakat Sasak bahwa rezeki anak sekolah pasti akan selalu ada sehingga mereka tidak terlalu berusaha untuk memenuhinya. Selain itu, tanggung jawab pendidikan juga dianggap hanya sebatas kewajiban dari orang tua masing-masing. Tolong-menolong dalam dunia pendidikan pun alhirnya menjadi sangat minim.
            Berbagai kejadian di atas sungguh sangat disayangkan, melihat banyaknya nilai dalam budaya Sasak yang seharusnya mampu untuk menjaga masyarakatnya untuk hidup rukun, aman, selaras, dan seimbang. Hingga munculah pertanyaan, mengapa hal itu dapat terjadi? Mengapa nilai budaya Sasak tersebut pada akhirnya terlihat hanya sebatas ucapan biasa?
Jika kita lihat dan analisis kejadian tersebut dengan kondisi zaman pada masa sekarang, maka ada faktor atau alasan yang dapat memicu terjadinya peristiwa di atas, yakni kurangnya pendidikan karakter kepada masyarakat Sasak melalui nilai-nilai budaya Sasak. Sehingga nilai-nilai tersebut pada akhirnya kurang dikenali oleh masyarakat Sasak. Terdapat beberapa faktor sebenarnya yang menyebabkan pengajaran akan karakter ini kurang dilakukan, tidak hanya di masyarakat Sasak saja melainkan hampir di seluruh dunia.

a.       Faktor Global

Revolusi Industri yang berawal dari Inggris pada abad ke-18 yang kemudian meluas ke negara-negara di daratan Eropa, Amerika, ke Jepang, dan ke seluruh dunia. Terjadinya revolusi ini dipicu oleh kemampuan manusia menciptakan mesin yang pada awalnya digerakkan oleh tenaga uap. Dengan adanya mesin, proses produksi yang semula memanfaatkan tenaga manusia dan tenaga hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin. Pemanfaatan mesin ini telah memungkinkan suatu perusahaan melakukan produksi massal, yaitu menghasilkan barang dalam jumlah yang sangat banyak dan seragam. Cara berpikir dalam mengolah pabrik itu kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan, yakni menghasilkan manusia seragam yang siap kerja. Sehingga cara belajar dan bahan ajaran pun juga ikut berubah.
Selain itu cara pandang mengenai manusia di dunia kerja juga berubah. Manusia atau orang yang bekerja hanya sebagai sumber daya. Jadi, manusia hanya sebagai benda bukan insan utuh yang memiliki aspirasi, tata nilai, nurani sebagai individu serta kesadaran dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian, masalah karakter atau moral cenderung diabaikan atau tidak mendapat cukup perhatian.

b.      Hanya Mementingkan Sektor Ekonomi

Pada akhir tahun 1960-an pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggalakkan pembangunan ekonomi tanpa menyadari diikutinya anggapan bahwa kalau ada dana, semua akan berjalan seperti yang diharapkan. Kemudian sejak itu, mulailah Indonesia membiayai pembangunannya dengan hutang luar negeri dan hutang itu pun makin lama makin membesar. Seiring berjalannya waktu, secara tidak disadari muncul pula kriteria baru dalam melihat keberhasilan menjalankan pembangunan, yakni mendapatkan lebih banyak hutang untuk pembangunan dengan menghaluskannya menjadi bantuan luar negeri. Pembangunan yang berpusat pada hutang ini kemudian memberi asumsi bahwa materi atau uang dapat menggantikan segalanya, sedangkan pendidikan, etos kerja, dan karakter pun semakin terpinggirkan.

c.    Terlalu Bertumpu Pada Sumber Daya Alam

Selain mengandalkan bantuan luar negeri, pembangunan ekonomi juga bertumpu pada sumber daya alam, seolah-olah minyak, batu bara, tembaga, emas, hutan akan dapat digunakan sebagai tumpuan kesejahteraan untuk selamanya. Akibatnya, kebijakan pembangunan Indonesia kurang memperhatikan pengembangan sumber kesejahteraan yang selalu dapat diperbaharui, yaitu manusia yang berkualitas. Karena itu, tidak heran apabila selama lebih  dari 3 dekade alokasi anggaran pembangunan untuk pendidikan di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan anggaran pembangunan sektor-sektor lain.

d.   Kurang Berhasil Belajar Dari Sejarah

Pembebasan diri dari penjajahan merupakan salah satu proses dan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Kemerdekaan dari penjajah ini bisa dicapai setelah para pejuang kemerdekaan berhasil membangun dan menyatukan kekuatan semua unsur masyarakat yang sangat bhineka. Mereka dengan tidak mengenal lelah mengorbankan kepentingan mereka sendiri, mendidik rakyat Indonesia dan menjadi sumber inspirasi bagi rakyat untuk bangkit menjadi bangsa yang berani, percaya diri, optimis, bersedia berkorban, pantang menyerah, menghargai kebinekaan, dan bersatu untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu Indonesia Merdeka.
Dapat dikatakan kemerdekaan Indonesia tercapai karena para pejuang berhasil menyatukan dan membangun kekuatan bangsa melalui pendidikan karakter dalam arti luas. Namun, ketika sekarang Indonesia ingin membangun perekonomiannya, pengalaman sejarah ini justru dikesampingkan. Pembangunan karakter seperti tidak diperlukan lagi ketika suatu negara ingin membangun perekonomiannya.

e.    Hanya Melihat Satu Sisi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa negara-negara yang maju dan kesejahteraan rakyatnya tinggi adalah negara-negara yang masyarakatnya secara umum menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara tersebut juga memiliki tenaga kerja dengan kompetensi yang tinggi. Sehingga negara-negara yang ingin meningkatkan kualitas tenaga kerjanya menjadikan hal tersebut sebagai latar belakang kebijakan pendidikan yang kemudian sangat berpusat pada pengembangan kompetensi.
Tetapi, faktor lainnya yang justru menjadi penggerak dan pendorong tercapainya tingkat kompetensi yang tinggi sering tidak diperhatikan. Faktor tersebut seperti semangat belajar yang tinggi, komitmen untuk mencapai yang terbaik, semangat melakukan perbaikan terus-menerus, keterbukaan terhadap kemungkinan baru, dan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Hal-hal yang disebutkan terakhir inilah yang termasuk dalam kategori karakter, bukan kompetensi. Kompetensi memang membuat seseorang dapat melakukan tugasnya dengan baik, namun karakterlah yang membuatnya bertekad untuk mencapai yang terbaik dan selalu ingin lebih baik lagi dari sebelumnya.

1 comment: