Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang |
Berdasarkan uraian mengenai nilai budaya
Sasak serta hubungannya dengan nilai Pancasila, maka dapat dikatakan bahwa
nilai yang terkandung dalam budaya Sasak memiliki hubungan atau keterkaitan
yang sangat erat dengan nilai-nilai karakter bangsa, khususnya nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila. Nilai-nilai budaya Sasak tersebut mestinya dapat
memberikan kontribusi bagi penguatan karakter bangsa Indonesia. Jika saja
berbagai kearifan lokal seperti nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sasak
tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakatnya, maka
dapat dipastikan bahwa nilai-nilai karakter bangsa sebagi pilar utama dalam
membangun bangsa ini akan tetap lestari dan bertahan ditengah tantangan era
globalisasi. Namun realita kehidupan masyarakat Sasak kini nampaknya
seolah-olah kurang menunujukkan adanya identitas budaya yang mampu membimbingnya.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Berbagai fakta sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur budaya Sasak sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh berbagai perilaku yang kurang simpatik dari masyarakat pendukungnya.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Berbagai fakta sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur budaya Sasak sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh berbagai perilaku yang kurang simpatik dari masyarakat pendukungnya.
Masih
kuat dalam ingatan kita sebuah peristiwa yang terkenal dengan peristiwa 17
Januari. Peristiwa tersebut begitu mengejutkan masyarakat Indonesia, bahkan
dunia pada umumnya dan masyarakat Sasak khususnya. Bagaimana tidak, masyarakat
yang sebelumnya dianggap masyarakat yang sangat toleran tiba-tiba bertindak
maupun berprilaku sangat tidak toleran.
Berawal dari sebuah tablig akbar tanggal 17 Januari 2000 di Mataram, tiba-tiba
berujung pada tindakan kekerasan dan pengerusakan terhadap berbagai tempat
ibadah. Peristiwa ini berawal dari
pelemparan gereja GPIB, pembakaran gereja, pastoran, dan aula Paroki
Mataram serta pengerusakan dan pembakaran terhadap tempat ibadah lainnya.
Barbagai tindakan anarkis lainnya pun terjadi diberbagai tempat. Masyarakat
nampaknya juga begitu cepat tersulut emosinya, hingga identitas kerukunan dan
kedamaian antar ummat beragama yang sudah beratus-ratus tahun tertanam pada
masyarakat sasak harus lenyap dalam hitungan jam.
Nilai tindih dalam konteks kemanusiaan yang adil dan beradab serta
persatuan dan kesatuan seolah-olah terlupakan begitu saja. Pada tahun 2009
salah satu bupati di Lombok, didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau koorporasi dalam kasus tukar guling aset
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat berupa tanah dan bangunan. Menurut
jaksa, terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp. 1,64 milyar
(http://vivanews.com). Pada tahun 2011 dan tahun-tahun sebelumnya juga banyak
terjadi kasus perampokan di Lombok. Tanggal 29 Mei 2011, sebuah motor dicuri
ketika pemiliknya sedang terlelap tidur, begitu pula sebuah rumah yang
sedang ditinggal pergi oleh pemiliknya pada 1 Juli 2011 habis dijarah oleh
pencuri (Lombok Post). Kasus-kasus ini juga membuktikan terjadinya pelanggaran
dalam sila ke dua dan ke lima, dan juga membuktikan lemahnya nilai maliq di masyarakat Sasak. Pejabat
seenaknya menikmati hak milik orang lain, begitupula para pencuri yang merampas
milik orang lain dan melakukan tindakan yang jelas-jelas dianggap tidak baik.
Kemudian provinsi NTB mencatat, 360.518
orang anak dari usia 7-18 tahun putus sekolah, dan 179.950 orang buta aksara (http://lomboknews.com).
Hal ini sungguh sangat memprihatinkan, dan lagi-lagi memberitahukan kepada kita
bahwa cita-cita sila ke empat dan nilai mêrang
pada masyarakat Sasak tidak terpatri kuat. Hingga kini, kesadaran masyarakat
Sasak untuk tolong-menolong hanya terbatas ketika adanya acara perkawinan dan
kematian saja. Sedangkan pada aspek-aspek yang lain seperti pendidikan yang membawa
pengaruh besar bagi masa depannya justru diabaikan. Bahkan, ada kepercayaan
dalam masyarakat Sasak bahwa rezeki anak sekolah pasti akan selalu ada sehingga
mereka tidak terlalu berusaha untuk memenuhinya. Selain itu, tanggung jawab
pendidikan juga dianggap hanya sebatas kewajiban dari orang tua masing-masing.
Tolong-menolong dalam dunia pendidikan pun alhirnya menjadi sangat minim.
Berbagai kejadian di atas sungguh
sangat disayangkan, melihat banyaknya nilai dalam budaya Sasak yang seharusnya
mampu untuk menjaga masyarakatnya untuk hidup rukun, aman, selaras, dan
seimbang. Hingga munculah pertanyaan, mengapa hal itu dapat terjadi? Mengapa
nilai budaya Sasak tersebut pada akhirnya terlihat hanya sebatas ucapan biasa?
Jika
kita lihat dan analisis kejadian tersebut dengan kondisi zaman pada masa
sekarang, maka ada faktor atau alasan yang dapat memicu terjadinya peristiwa di
atas, yakni kurangnya pendidikan karakter kepada masyarakat Sasak melalui
nilai-nilai budaya Sasak. Sehingga nilai-nilai tersebut pada akhirnya kurang
dikenali oleh masyarakat Sasak. Terdapat beberapa faktor sebenarnya yang
menyebabkan pengajaran akan karakter ini kurang dilakukan, tidak hanya di
masyarakat Sasak saja melainkan hampir di seluruh dunia.
a. Faktor
Global
Revolusi
Industri yang berawal dari Inggris pada abad ke-18 yang kemudian meluas ke
negara-negara di daratan Eropa, Amerika, ke Jepang, dan ke seluruh dunia.
Terjadinya revolusi ini dipicu oleh kemampuan manusia menciptakan mesin yang
pada awalnya digerakkan oleh tenaga uap. Dengan adanya mesin, proses produksi
yang semula memanfaatkan tenaga manusia dan tenaga hewan kemudian digantikan
dengan tenaga mesin. Pemanfaatan mesin ini telah memungkinkan suatu perusahaan
melakukan produksi massal, yaitu menghasilkan barang dalam jumlah yang sangat
banyak dan seragam. Cara berpikir dalam mengolah pabrik itu kemudian diterapkan
dalam dunia pendidikan, yakni menghasilkan manusia seragam yang siap kerja.
Sehingga cara belajar dan bahan ajaran pun juga ikut berubah.
Selain
itu cara pandang mengenai manusia di dunia kerja juga berubah. Manusia atau
orang yang bekerja hanya sebagai sumber daya. Jadi, manusia hanya sebagai benda
bukan insan utuh yang memiliki aspirasi, tata nilai, nurani sebagai individu
serta kesadaran dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari masyarakat yang
berbudaya. Dengan demikian, masalah karakter atau moral cenderung diabaikan
atau tidak mendapat cukup perhatian.
b. Hanya
Mementingkan Sektor Ekonomi
Pada
akhir tahun 1960-an pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggalakkan
pembangunan ekonomi tanpa menyadari diikutinya anggapan bahwa kalau ada dana,
semua akan berjalan seperti yang diharapkan. Kemudian sejak itu, mulailah
Indonesia membiayai pembangunannya dengan hutang luar negeri dan hutang itu pun
makin lama makin membesar. Seiring berjalannya waktu, secara tidak disadari
muncul pula kriteria baru dalam melihat keberhasilan menjalankan pembangunan,
yakni mendapatkan lebih banyak hutang untuk pembangunan dengan menghaluskannya
menjadi bantuan luar negeri. Pembangunan yang berpusat pada hutang ini kemudian
memberi asumsi bahwa materi atau uang dapat menggantikan segalanya, sedangkan
pendidikan, etos kerja, dan karakter pun semakin terpinggirkan.
c. Terlalu
Bertumpu Pada Sumber Daya Alam
Selain
mengandalkan bantuan luar negeri, pembangunan ekonomi juga bertumpu pada sumber
daya alam, seolah-olah minyak, batu bara, tembaga, emas, hutan akan dapat
digunakan sebagai tumpuan kesejahteraan untuk selamanya. Akibatnya, kebijakan
pembangunan Indonesia kurang memperhatikan pengembangan sumber kesejahteraan
yang selalu dapat diperbaharui, yaitu manusia yang berkualitas. Karena itu,
tidak heran apabila selama lebih dari 3
dekade alokasi anggaran pembangunan untuk pendidikan di Indonesia sangat rendah
dibandingkan dengan anggaran pembangunan sektor-sektor lain.
d. Kurang
Berhasil Belajar Dari Sejarah
Pembebasan
diri dari penjajahan merupakan salah satu proses dan peristiwa besar dalam
sejarah Indonesia. Kemerdekaan dari penjajah ini bisa dicapai setelah para
pejuang kemerdekaan berhasil membangun dan menyatukan kekuatan semua unsur
masyarakat yang sangat bhineka. Mereka dengan tidak mengenal lelah mengorbankan
kepentingan mereka sendiri, mendidik rakyat Indonesia dan menjadi sumber
inspirasi bagi rakyat untuk bangkit menjadi bangsa yang berani, percaya diri,
optimis, bersedia berkorban, pantang menyerah, menghargai kebinekaan, dan
bersatu untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu Indonesia Merdeka.
Dapat dikatakan kemerdekaan Indonesia
tercapai karena para pejuang berhasil menyatukan dan membangun kekuatan bangsa
melalui pendidikan karakter dalam arti luas. Namun, ketika sekarang Indonesia
ingin membangun perekonomiannya, pengalaman sejarah ini justru dikesampingkan.
Pembangunan karakter seperti tidak diperlukan lagi ketika suatu negara ingin
membangun perekonomiannya.
e. Hanya
Melihat Satu Sisi
Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa negara-negara yang maju dan kesejahteraan
rakyatnya tinggi adalah negara-negara yang masyarakatnya secara umum menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara tersebut juga memiliki tenaga kerja
dengan kompetensi yang tinggi. Sehingga negara-negara yang ingin meningkatkan
kualitas tenaga kerjanya menjadikan hal tersebut sebagai latar belakang
kebijakan pendidikan yang kemudian sangat berpusat pada pengembangan
kompetensi.
Tetapi,
faktor lainnya yang justru menjadi penggerak dan pendorong tercapainya tingkat
kompetensi yang tinggi sering tidak diperhatikan. Faktor tersebut seperti
semangat belajar yang tinggi, komitmen untuk mencapai yang terbaik, semangat
melakukan perbaikan terus-menerus, keterbukaan terhadap kemungkinan baru, dan
keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Hal-hal yang disebutkan terakhir
inilah yang termasuk dalam kategori karakter, bukan kompetensi. Kompetensi
memang membuat seseorang dapat melakukan tugasnya dengan baik, namun
karakterlah yang membuatnya bertekad untuk mencapai yang terbaik dan selalu
ingin lebih baik lagi dari sebelumnya.
Tambahkan info lebih lengkap tentang Sasak ya
ReplyDelete