Nilai-Nilai Budaya Sasak |
Nilai-Nilai Budaya Sasak - Menyadari sebagai komunitas yang
memiliki keragaman budaya (multikultural), manusia Sasak kemudian memprioritaskan
etika dan moralitas sebagai semangat dan landasan bagi mekanisme pranata sosial
mereka.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Hal itu juga bertujuan memelihara solidaritas kolektif dan menjaga keutuhan komunitas mereka. Berikut petikan dari Lontar Te Melak Mangan, bait 252, yang menggambarkan hal tersebut.
BACA JUGA : Fiosofi yang Mendasari Adat perkawinan Bangsawan Sasak
BACA JUGA : Realitas Karakter Masyarakat Sasak Zaman Sekarang
BACA JUGA : Hubungan Nilai Budaya Sasak dengan Pancasila sebagai Karakter Bangsa Indonesia
BACA JUGA : Sistem Penanggalan Masyarakat Sasak Lombok '
BACA JUGA : Hubungan Sistem Penanggalan Sasak dengan Ilmu Astronomi
BACA JUGA : Fungsi Sistem Penanggalan Suku Sasak Lombok
Hal itu juga bertujuan memelihara solidaritas kolektif dan menjaga keutuhan komunitas mereka. Berikut petikan dari Lontar Te Melak Mangan, bait 252, yang menggambarkan hal tersebut.
Sai-sai ungkoning
sasak,
girang maca babat gumi,
mau’ rahmat si’
Pangeran,
pahala mara’ ngujungi,
le’ bilang makam mandi,
dening bakluhuran
slapu’,
ita pada ngepeyang,
ade’ tetawo’ tandan
gumi...................
“Siapa
saja yang menempati Tanah Sasak,
rajin-rajinlah
membaca sejarahnya,
agar
mendapat rahmat dari Yang Kuasa,
pahala
yang berlimpah,
di
setiap makam mandi,
karena
kita semua berleluhur yang sama,
kita
semua adalah pemiliknya,
agar
kita tahu lekuk-liku tanah pusaka.........”
Keinginan ini kemudian melahirkan nilai
dasar dalam budaya Sasak, yang diberi simbol yaitu tindih, maliq, dan mȇrang.
Tindih
dapat diartikan sebagai kekuasaan etika dan kekuatan moral yang ditanamkan pada
diri setiap pribadi manusia Sasak untuk menjaganya dari kemungkinan berperilaku
kurang pantas dan mengganggu hak-hak sesama, yang akan menyebabkan goyahnya
keserasian dan keseimbangan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, tindih dapat kita lihat dalam bentuk
sikap dan tingkah laku pribadi yang serba menghormati dan memuliakan kehidupan
sebagai anugerah Tuhan. Sikap, tutur-kata, dan tingkah laku dalam setiap
situasi dan kondisi harus sesuai dan sepantasnya, bahkan dalam berkhayal
sekalipun. Dalam setiap tutur kata dan
perilaku akan terekam dan menjadi dokumen serta referensi setiap orang dalam
komunitas itu untuk hari-hari selanjutnya. Nilai tindih ini kemudian diimplementasikan menjadi dasar dalam pembuatan
hukum dalam tradisi Sasak (awik-awik), yang mengatur tata-cara manusia
berhubungan dengan sesamanya dan dengan alamnya, beserta beban sanksi apabila
terjadi pelanggaran dalam proses pelaksanaannya. Oleh karena itu, setiap orang
harus atau wajib untuk selalu berusaha menjadi teladan bagi sesama dan
lingkungan sosialnya, sehingga terwujudnya masyarakat yang rukun, harmonis, dan
terlepas dari segala problem kehidupan.
Seseorang yang mampu bersikap tindih, dianggap telah mencapai sebuah
kesempurnaan hidup. Sebab tindih
dianggap sebagai nilai utama, atau pencapaian dari sebuah kehidupan. Apabila
setiap orang mampu bersikap tindih,
maka tentu saja keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan sosial akan
tercapai. Setiap orang akan selalu menjaga segala ucapan, tingkah laku, dan
pikirannya dari hal yang kurang baik dan senantiasa memberi contoh pada
lingkungannya. Sehingga kemungkinan akan terjadinya gejolak menjadi sangat
minim, karena setiap orang telah berucap, bertingkah laku, dan berpikiran yang
baik.
Maliq,
mengandung makna batas antara yang boleh dengan yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia Sasak dalam kehidupannya sehari-hari. Baik kepada sesama, ciptaan
Tuhan, dan kepada sang pencipta sendiri. Nilai ini dapat pula dikatakan sebagai
norma yang berlaku dalam masyarakat Sasak, yang senantiasa menuntun dan
mengarahkan masyarakatnya untuk selalu berjalan di jalan yang benar. Nilai ini
memberikan penjelasan kepada masyarakat Sasak tentang apa yang harus dilakukan
yang berkaitan dengan tindih itu
sendiri, yaitu demi mencapai suatu keserasian dan keseimbangan melalui etika
dan moral.
Mêrang
(wirang = malu) merupakan simbol nilai
yang bermakna mekanisme pertahanan diri yang mewajibkan setiap pribadi dan
komunitas menjaga, melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta
kehormatannya. Dalam hal ini kehormatan yang dimaksud tidak hanya kehormatan
pada diri sendiri saja, melainkan juga kehormatan keluarga, kelompok, suku, dan
bangsanya. Dalam kebangsaan nilai ini dapat dikatakan sebagai rasa
nasionalisme, yaitu rasa senasib dan sepenanggungan. Dalam kehidupan
sehari-hari, nilai ini sering terlihat pada acara perkawinan dan kematian suku
Sasak. Apabila terdapat seorang tetangga yang putra atau putrinya menikah, maka
tetangga yang lain akan berbondong-bondong untuk datang membantu sambil membawa
berbagai barang. Seperti beras, gula, kain, kambing, dan lain sebagainya. Begitupula
halnya pada saat kematian, sehingga tak ada anggota masyarakat yang merasakan
beban apabila mendapat musibah atau menikmati sendiri rezeki yang didapat.
Dengan adanya nilai mêrang ini, maka dapat dikatakan tidak ada masalah yang tidak dapat
diselesaikan. Karena akan ada orang lain yang senantiasa menemani dan membantu
di kala seseorang sedang membutuhkan bantuan.
Selain ketiga nilai inti tersebut, dalam
budaya Sasak juga terdapat nilai kualitatif yang berfungsi sebagai penopang
atau pembantu ketiga nilai inti tersebut, seperti siru, reme, sangkep dan lain-lain. Sehingga nilai-nilai
tersebut dapat lebih mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata
lain, nilai kualitatif ini berperan sebagai sarana atau jalan menuju tiga nilai
dasar tersebut. Dalam budaya Sasak banyak terdapat nilai kualitatif yang jarang
dikenal oleh masyarakat Sasak, namun sudah sering diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kualitatif ini antara lain:
Siru,
merupakan wujud kesadaran manusia Sasak yang meyakini bahwa tidak satu pun
makhluk di jagad ini yang keberadaannya tidak terkait dan terpaut dengan
makhluk lainnya dan kesaling-tergantungan antar sesama makhluk hidup merupakan
prinsip dasar dari eksistensinya. Besiru
adalah bentuk instan dari siru, yang dalam
kehidupan sehari-hari manusia Sasak terwujud sebagai sikap dan tingkah laku
saling tolong, saling memberi, saling menjaga, saling mendidik, dan seterusnya.
Contoh penerapan nilai ini yaitu saling membantu ketika membangun rumah atau
menggarap sawah, sehingga tidak perlu meminta bantuan ke sana ke mari.
Siru
ini sangat erat kaitannya dengan mêrang, sebab orang yang mêrang pasti akan selalu berangkat dari siru. Jika seseorang telah terbiasa
melaksanakan siru di dalam
kehidupannya, maka akan secara otomatis nilai mêrang dapat dengan mudah melekat pada dirinya.
Isi kandungan tindih, maliq, dan mȇrang
kemudian tertuang dalam semua klausal adat Sasak, dan berdasarkan obyeknya
dikelompokkan menjadi:
1. Adat Urip,
adalah adat yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan
manusia Sasak.
2. Adat Pati,
adalah adat yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kematian, baik prosesi
maupun segala bentuk ritual yang menyertainya.
3. Adat Puruse,
adalah adat yang mengatur hubungan manusia Sasak dengan alamnya.
Konsep-konsep norma yang terdapat pada
golongan tersebut kemudian teraplikasi melalui subsistem adat:
1. Adat Game,
mengatur pola hubungan manusia Sasak dengan Tuhannya.
2. Adat Krame,
mengatur prosesi dan ritual yang berhubungan dengan daur hidup.
3. Adat Tapsila,
mengatur pola dan mekanisme hubungan antar sesama manusia.
4. Adat Puruse,
mengatur hubungan manusia Sasak dengan lingkungan alamnya.
No comments:
Post a Comment