Wednesday 7 May 2014

Puisi JENAZAH karya Mansur Samin



JENAZAH
( Oleh : Mansur Samin ) 
Mataku terkapar ke tengah pintu
dekat mimbar, sorot lampu
samping pilar dan aula yang tenang
di tengah terbaring jenazah
berpagar beranda bunga
dan panji-panji Mahajaya 
Malam makin tenang saja
di benakku suara: hingar sekretariat negara
sejenak tenang, langkah riuh berderap
silang siur dengan kapal terbang
gardu dan pagar-pagar besi gempar sekali
kegaduhan dan sepatu duri berlari 
Kemudian mataku hinggap ke jenazah
dekat kesamaran gerombol mahasiswa
terpacak bendera
di ujung bangku tegak pekur para mahasiswa
di lengannya pita hitam dan selampai
dari celah-celah mereka, kulirik kertas putih
tertulis nama : Arief Rahman Hakim 
Malam tambah jauh dan makin tua
tiba-tiba di belakangku muncul mahasiswa
dengan ragu bertanya : “Bapak siapa?
Wartawan atau alat negara?
Dengan sigap kujawab : “Saya penyair
yang turut ambil bagian
dalam demonstrasi tadi pagi!” 
Dijalan pulang ke Timur
desah gerimis mulai turun
aku tunduk melangkah dan melangkah
lama baru sadar kemeja telah basah 
Kutatap belakang jauhan tampak gedung-
gedung salemba
nun aula Unikersitas Indonesia
tempat upacara duka
terbaring putra tanah air
menanti kupahat dalam puisi

Hasil analisis yang telah penulis lakukan pada puisi “Jenazah” karya Mansur Samin, kombinasi bunyi asonansi sangat mendominasi puisi ini. Bunyi asonansi /a/, /e/, /i/ hampir terdapat di tiap larik puisi ini. Bunyi aliterasi dalam puisi ini tidak begitu menonjol. Bunyi sengau /ng/ dan /m/ cukup banyak terdapat dalam puisi ini sehingga menimbulkan efek yang merdu bila dikombinasikan dengan bunyi asonansi. Bunyi likuida /l/ dan /r/ pun cukup banyak, sehingga akan menimbulkan eufoni jika dikombinasikan dengan bunyi asonansi.
 Berbagai  Istilah dalam Analisis Lapis Bunyi
Eufoni             : kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu dan berirama atau bunyi yang indah (Pradopo)
Kakofoni         : kombinasi bunyi yang tidak merdu dan parau (Pradopo)
Asonansi         : kombinasi bunyi-bunyi kokal (Pradopo)
Aliterasi           : pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan (KBBI Luar Jaringan Kersi 1.5)
Likuida            : konsonan malaran apiko-alkeolar yang menyerupai kokal, yaitu /r/ dan /l/ (KBBI Luar Jaringan Kersi 1.5)
Bunyi sengau  : bunyi yg dihasilkan dengan keluarnya udara melalui hidung (KBBI Luar Jaringan Kersi 1.5)
2.      Analisis Lapis Arti
Lapis ini menganalisis arti-arti dari kata, frasa, atau kalimat yang ada dalam sebuah puisi. Penganalisisan ini berdasarkan pada kenyataan bahwa penyair terkadang menggunakan bahasa yang berupa kata, frasa, atau kalimat yang tidak umum pada kehidupan sehari-hari sehingga harus ditelaah lebih mendalam lewat penganalisian arti.
Kata atau kumpulan kata
dalam puisi “Jenazah”
Makna
Bait Pertama
Mataku terkapar
Pandanganku atau penglihatahku yang tidak beraturan
Mimbar
Tempat untuk berpidato atau berkhotbah
Sorot lampu
Cahaya lampu yang terang
Samping pilar
Di dekat tiang
Jenazah
Manusia yang sudah tidak bernyawa (mati)
Berpagar beranda bunga
Dibatasi teras yang penuh dengan karangan bunga atau bunga yang bertaburan
Panji-panji Mahajaya
Bendera-bendera kebanggaan
Bait kedua
Malam makin tenang
Kesunyian pada malam hari
Di benakku
Dalam pikiran
Hingar suara
Kebisingan suara
Langkah riuh berderap
Suara orang berjalan yang gaduh atau ramai sekali
Silang siur
Sangat rapat dan tidak keruan
Gardu
Tempat berjaga
Pagar-pagar besi gempar sekali
Dibatasi pagar besi yang membuat kegaduhan
Kegaduhan
Keributan atau kekacauan
Bait Ketiga
Mataku hinggap
Tatapanku tertuju pada objek
Gerombolan mahasiswa
Sekumpulan atau sekelompok mahasiswa
Terpacak bendera
Terpasang (terpasak) bendera
Tegak pekur para mahasiwa
Para mahasiswa duduk termenung
Pita hitam dan selampai
Pita yang berwarna hitam dan saputangan
Kertas putih
Secarik kertas
Arief Rahman Hakim
Mahasiswa Unikersitas Indonesia korban demonstrasi TRITURA
Bait Keempat
Malam tambah jauh dan semakin tua
Malam yang semakin larut
Dengan ragu bertanya
Bertanya dengan perasaan bimbang
Alat Negara
Orang yang bekerja untuk pemerintah atau orang kepercayaan pemerintah pusat (tangan kanan)
Dengan sigap kujawab
Menjawab dengan cepat
Bait Kelima
Pulang ke timur
Kembali ke rumah ke arah timur
Desah gerimis
Bunyi air hujan atau gerimis yang jatuh di dedaunan
Tunduk melangkah
Berjalan dengan menghadapkan wajah ke bawah
Kemeja basah
Pakaian yang basah
Bait Keenam
Gedung-gedung Salemba
Bangunan-bangunan yang ada di Salemba
Nun aula Unikersitas Indonesia
Di sana terdapat aula Unikersitas Indonesia
Tempat upacara duka
Tempat menyemayamkan jenazah
Terbaring putra tanah air
Terdapat jenazah
Menanti kupahat dalam puisi
Menunggu kutulis dalam sebuah puisi
Dalam puisi Mansur Samin “Jenazah”, menggunakan konkensi bahasa Indonesia yaitu terdapat satuan satuan bahasa berupa kata, frasa, dan kalimat.
Dalam bait pertama, larik ‘mataku terkapar ke tengah pintu dekat mimbar’ bermakna: pandangan atau  penglihatan si aku yang tidak beraturan melihat ke sekeliling tempat untuk berpidato. Larik ‘sorot lampu samping pilar’ bermakna: cahaya lampu yang terang di dekat tiang. ‘di tengah terbaring jenazah’ bermakna: di tengah-tengah ruangan membujur kaku manusia yang sudah tidak bernyawa (mati). Larik ‘berpagar beranda bunga dan panji-panji Mahajaya’ bermakna: dibatasi teras yang penuh dengan karangan bunga atau bunga yang bertaburan dan bendera-bendera kebanggaan.
Dalam bait kedua, larik ‘malam makin tenang saja’ bermakna: keadaan malam hari yang makin sunyi dan sepi. Larik ‘di benakku suara: hingar sekretariat negara sejenak tenang’ bermakna: dalam pikiran si aku berisi kebisingan suara tentang sekretariat negara diam sementara. Larik ‘langkah riuh berderap silang siur dengan kapal terbang’ bermakna: suara orang berjalan yang gaduh atau ramai sekali, sangat rapat dan tidak keruan. Larik ‘gardu dan pagar-pagar besi gempar sekali kegaduhan dan sepatu duri berlari’ bermakna: tempat berjaga yang dibatasi pagar besi yang membuat kegaduhan, keributan dan sepatu-sepatu yang dipakai untuk berlari.
Dalam bait ketiga, larik ‘kemudian mataku hinggap ke jenazah’ bermakna: selanjutnya pandangan si aku tertuju pada jenazah. Larik ‘dekat kesamaran gerombol mahasiswa’ bermakna: di dekat kumpulan mahasiswa yang terlihat tidak jelas. Larik ‘terpacak bendera’ bermakna: terpasang atau terpasak bendera. Larik ‘di ujung bangku tegak pekur para mahasiswa’ bermakna: di ujung sebuah kursi para mahasiswa duduk termenung. Larik ‘di tangannya pita hitam dan selampai’ bermakna: para mahasiswa menggunakan pita hitam pada lengan bajunya dan memegang saputangan. Larik ‘dari celah-celah mereka, kulirik kertas putih’ bermakna: si aku melihat tulisan pada selembar kertas di antara para mahasiswa yang sedang menggerombol. Larik ‘tertulis nama Arief Rahman Hakim’ bermakna: tertulis nama seseorang pemuda yaitu Arief Rahman Hakim, mahasiswa Unikersitas Indonesia yang meninggal karena ditembak sewaktu berlangsungnya demonstrasi yang menuntut TRITURA atas pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno pada tanggal 24 Februari 1966 (Wikipedia).
Bait keempat, larik ‘malam tambah jauh dan semakin tua’ bermakna: pekatnya gelap malam yang semakin larut. Larik ‘tiba-tiba dibelakangku muncul mahasiswa’ bermakna: seorang mahasiswa menghampiri si aku dengan mendadak. Larik ‘dengan ragu bertanya: “Bapak siapa? Wartawan atau alat negara?” ’ bermakna: seorang mahasiswa bertanya dengan perasaan bimbang dan penuh kehati-hatian kepada si aku, dia sorang wartawan atau orang kepercayaan pemerintah (tangan kanan pemerintah). Larik ‘dengan sigap kujawab: “Saya penyair yang turut ambil bagian dalam demonstrasi tadi pagi!” ’ bermakna: dengan cepat dan tanpa ragu-ragu si aku menjawab pertanyaan mahasiswa yang bertanya padanya bahwa ia adalah penyair yang ikut dalam demonstrasi yang berlangsung tadi pagi.
Bait kelima, larik ‘di jalan pulang ke timur’ bermakna: di perjalanan pulang si aku ke arah timur. Larik ‘desah gerimis mulai turun’ bermakna: bunyi air hujan yang turun di dedaunan. Larik ‘aku tunduk melangkah’ bermakna: si aku pulang ke rumahnya dengan menundukkan kepalanya. Larik ‘lama baru sadar kemeja basah’ bermakna: kemeja yang dipakai si aku disadarinya telah basah oleh air hujan atau mungkin basah karena cucuran air mata si aku.
Bait keenam, larik ‘kutatap belakang jauhan nampak gedung-gedung salemba’ bermakna: si aku menoleh dan melihat bangunan gedung-gedung di sekitar Salemba. Larik ‘nun aula Unikersitas Indonesia tempat upacara duka’ bermakna: terlihat dari kejauhan aula UI yang dijadikan persemayaman Arief Rahman Hakim. Larik ‘terbaring putra tanah air’ bermakna: tergeletakna mayat Arief. Larik ‘menanti kupahat dalam puisi’ bermakna: menunggu si aku untuk menuliskan nama dan jasanya dalam sebuah bait-bait puisi.
3.       Analisis Lapis Dunia Pengarang
Pengarang terkadang tidak mengungkapkan secara gamblang apa yang ia ingin sampaikan. Pengarang mencoba menggunakan kiasan-kiasan lain yang berpola serupa dengan hal yang ia ingin sampaikan (hal yang implisit).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan hasil ciptaan pengarang menjadiSecondary Modeling System si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan latar, pelaku serta srtuktur ceritanya (pengaluran).
Pelaku atau tokoh: si aku (pengarang), dan mahasiswa. Latar waktu: waktu gelapnya malam dan ketika gerimis di malam hari. Latar tempat: aula yang tenang (tidak ada suara), gaduh, di jalan dalam perjalanan pulang penuh keharuan.
Objek-objek yang dikemukakan: mimbar, pilar, aula, jenazah, panji-panji mahajaya, malam, sekretariat negara, kapal terbang, sepatu duri, mahasiswa, bendera, pita hitam, demonstrasi, Arief Rahman Hakim, kemeja, Salemba, Unikersitas Indonesia, dan Puisi.
Aku (pengarang) dalam puisi ini menceritakan tentang kebingungannya karena melihat jenazah di dalam aula yang tenang di samping tiang dengan krangan bunga dan taburan bunga di teras bak pagar betis. Keadaan malam yang semakin larut membuat si aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang sedang dilihatnya, malam yang awalnya tenang menjadi ramai karena suara derap langkah sepatu. Tatapan si aku kemudian tertuju pada seonggok tubuh tak bernyawa (jenazah) di antara segerombol mahasiswa yang duduk termangu dengan pita hitam di lengan mereka dan saputangan yang digenggamnya. Jenazah itu bertuliskan nama ‘Arief Rahman Hakim’. Tiba-tiba seorang mahasiswa menghampiri si aku dan bertanya dengan ragu-ragu, tetapi si aku menjawab pertanyaan mahasiswa dengan sigap. Si aku lalu,  pulang, dalam perjalananya gerimispun menghujaninya, bahkan tanpa ia sadari kemeja yang dipakainya basah karena air hujan atau bahkan tanpai ia sadari basahnya kemeja itu karena air matanya karena keprihatinan dan rasa pilunya atas nasib jenazah itu. Pandangan si akupun berhamburan kesekeliling gedung persemayaman tempat terbaringnya jenazah putra bangsa yang menunggu si aku untuk menuliskan nama ‘Arief Rahman Hakim’ pada puisi karyanya.
4.       Analisis Lapis Dunia yang Implisit
Pada lapis ini, bait pertama pengarang digambarkan sebagai seseorang atau si aku adalah salah seorang penyair yang ikut serta dalam demonstrasi untuk menuntut TRITURA. Setelah demonstrasi usai, pandangangannya tertuju ke tengah pintu dekat sebuah mimbar dengan cahaya lampu yang terang. Kemudian si aku melihat di dalam aula tersebut terbaring sesosok jenazah. Di teras aula tersebut sudah penuh dengan karangan bunga tanda ucapan duka atau taburan bunga serta bendera-bendera kebanggaan.
Bait kedua, di tengah keheningan malam membuat pikiran si aku berisi kebisingan suara sekretariat negara yang sejenak tenang, kemudian digantikan dengan suara derap langkah yang saling bergantian dengan suara pesawat terbang yang tidak keruan.
Bait ketiga, kemudian pandangan si aku tertuju pada sosok jenazah. Di dekat jenazah berkumpul mahasiswa, di samping mereka telah terpasang bendera. Para mahasiswa itu duduk merenung dengan pita hitam di lengan baju  dan saputangan digenggaman mereka. Di antara sela-sela mereka, si aku melirik selembar kertas yang tertulis nama Arief Rahman Hakim. Arief Rahman Hakim adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang meninggal karena ditembak ketika berlangsungnya demonstrasi mahasiswa yang menuntut TRITURA atas pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno pada tanggal 24 Februari 1966 (Wikipedia).
Bait keempat, di tengah larutnya malam si aku seorang mahasiswa dengan ragu-ragu menghampiri si aku dan bertanya: “ Bapak siapa? Wartawan atau alat negara?”. Si aku menjawab bahwa dirinya adalah seorang penyair yang turut serta dalam demonstrasi tadi pagi.
Pada bait kelima dan keenam, dalam perjalanan pulang, si aku berjalan dengan menundukan kepala dan desah gerimis mulai turun. Tanpa ia sadari kemeja yang dikenakannya telah basah oleh gerimis atau mungkin oleh air mata keharuannya. Selanjutnya, si aku menoleh gedung-gedung di Salemba dan dari kejauhan tampak aula UI yang digunakan untuk menyemayamkan jenazah Arief Rahman Hakim yang menunggu diabadikan oleh si aku dalam tulisan puisinya.

5.       Analisis Lapis Metafisika
Lapis dunia metafisik adalah lapis yang mengundang kontemplasi pembaca. Pembaca setelah membaca keseluruhan puisi lalu memahaminya akan mengalami kontemplasi. Kontemplasi dalam lapis ini tentu saja beragam. Bisa ketragisan, kemirisan, keharuan, kesedihan dll.
Dalam puisi ini terlihat dari kontemplasi kemirisan dan keharuan si aku pada objek yang dilihatnya. Digambarkan dengan rasa iba dan haru si aku terhadap nasib putra bangsa yang tertembak yang kini hanya tinggal nama.
aku tunduk melangkah
lama baru sadar kemeja basah
 SIMPULAN
Setelah menganalisis puisi “Jenazah” karya Mansur Samin secara frnomenologis dapa disimpulkan bahwa analisis ini akan memudahkan para peneliti untuk menganalisis puisi dilihat dari norma atau lapis yang ada dalam puisi itu. Melalui analisis fenomenologi terhadap puisi “Jenazah” didapatkan hasil analisis, antara lain:
(i)                 Puisi ini didominasi asonansi berat yaitu /a/, /u/, /o/ dan asonansi ringan yaitu /i/, /e/ yang berkombinasi dengan bunyi sengau dan likuida yang menghasilkan orkestrasi efoni;
(ii)               puisi ini juga berkombinasi dengan aliterasi /s/, /p/ dan berkombinasi dengan asonansi sehingga menghasilkan bunyi parau atau kakofoni;
(iii)             puisi ini menceritakan tentang rasa iba pengarang terhadap kejadian yang menimpa Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI yang tertembak pada saat demonstrasi.

1 comment: